SPBU Swasta Tolak BBM Pertamina: Antara Etanol, Ekonomi Energi, dan Aspek Hukum

Syafira Almutahaliya

SPBU Swasta Tolak BBM Pertamina: Antara Etanol, Ekonomi Energi, dan Aspek Hukum

Keputusan SPBU swasta besar seperti PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) dan BP-AKR (BP) untuk membatalkan pembelian base fuel impor dari Pertamina membuka perdebatan baru dalam sektor energi nasional. Alasannya sederhana tapi krusial: kandungan etanol 3,5% dinilai berisiko merusak mesin serta infrastruktur, meski pemerintah menyatakan masih aman secara regulasi.

Fenomena ini menyingkap tiga lapisan persoalan utama: ketahanan energi, daya saing ekonomi, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Ekonomi Energi: Dilema Transisi Hijau

Kebijakan campuran etanol sejatinya selaras dengan agenda global menuju energi bersih. Namun, dari sisi ekonomi energi, ada sejumlah persoalan:

Biaya tambahan bagi SPBU: Adanya risiko teknis membuat SPBU swasta enggan menanggung beban perawatan tambahan, baik di level infrastruktur distribusi maupun potensi klaim dari konsumen.

Konsumen berpotensi dirugikan: Kendaraan tua lebih rentan terhadap etanol. Jika terjadi kerusakan, ongkos perawatan akan membebani masyarakat, bukan pemerintah.

Pasar bahan bakar menjadi terfragmentasi: SPBU yang menolak etanol akan mencari alternatif impor lain. Ini bisa memicu persaingan harga tidak sehat dan menimbulkan disparitas di lapangan.

Menurut Dr. Bambang Setiawan (ITB), tanpa dukungan standar teknis dan insentif ekonomi, transisi biofuel bisa kontraproduktif.

“Di satu sisi pemerintah ingin menekan impor bensin dengan bioetanol, di sisi lain SPBU swasta harus menanggung biaya adaptasi. Ini tidak seimbang. Harus ada insentif atau kompensasi agar transisi ini tidak menekan salah satu pihak saja,” ujarnya.

Aspek Hukum: Kepastian Kontrak dan Perlindungan Konsumen

Dari sisi hukum, ada beberapa celah yang menimbulkan pertanyaan:

1. Kepastian Kontrak Pasokan
Bila SPBU swasta dipaksa menerima pasokan dengan spesifikasi berbeda dari kesepakatan awal, ini dapat dikategorikan sebagai wanprestasi kontrak atau bahkan penyalahgunaan kewenangan.

2. Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) menegaskan bahwa produk yang beredar tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pengguna. Bila kendaraan rusak akibat etanol, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban penyedia BBM.

3. Persaingan Usaha Sehat
Bila Pertamina sebagai pemain dominan mewajibkan standar tertentu tanpa memberikan ruang kompetisi sehat, bisa muncul isu pelanggaran prinsip persaingan usaha (UU No. 5/1999).

Menurut praktisi hukum energi, Kenny Wiston, S.H., M.H., problem etanol ini harus dipandang bukan hanya dari sisi teknis, melainkan juga dari aspek hak dan kewajiban hukum para pihak.

“Pemerintah perlu menegaskan standar hukum dalam kontrak jual beli BBM agar tidak ada pihak yang merasa dipaksa. Selain itu, aspek perlindungan konsumen harus diperjelas, agar transisi energi tidak berubah menjadi celah sengketa hukum di kemudian hari,” jelasnya.

Jalan Tengah: Regulasi Berbasis Keseimbangan

Kasus ini menunjukkan bahwa transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan jargon “energi hijau”. Perlu regulasi yang menyeimbangkan tiga kepentingan:

Pemerintah mendorong energi bersih dan mengurangi impor.

Pelaku usaha (SPBU) membutuhkan kepastian hukum dan standar teknis jelas.

Konsumen berhak atas keamanan kendaraan dan harga bahan bakar yang wajar.

Tanpa kepastian regulasi dan insentif ekonomi, kebijakan pencampuran etanol justru bisa berujung pada fragmentasi pasar, sengketa hukum, dan bahkan penurunan kepercayaan publik terhadap program energi hijau.

BPK Bongkar Dugaan Korupsi di PT Saka Energi, Negara Terancam Rugi Triliunan

Boy Rodriguez

BPK Bongkar Dugaan Korupsi di PT Saka Energi, Negara Terancam Rugi Triliunan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap temuan serius terkait praktik akuisisi yang dilakukan PT Saka Energi Indonesia, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Laporan audit itu Temuan BPK atas Dugaan Korupsi di PT Saka Energi Indonesia

Latar Belakang

PT Saka Energi Indonesia terlibat dalam serangkaian akuisisi wilayah kerja migas pada periode 2012–2015. BPK menemukan adanya indikasi kerugian negara akibat praktik akuisisi tersebut.

Temuan Hukum

1. Harga Akuisisi Tidak Wajar

BPK menilai pembelian saham sejumlah blok migas dilakukan di atas nilai keekonomian. Hal ini berpotensi menimbulkan overpricing dan membuka dugaan adanya persekongkolan atau praktik mark-up.

Kondisi ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Tidak Dilakukannya Kajian Due Diligence

Proses akuisisi dilakukan tanpa kajian komprehensif (due diligence) baik dari aspek hukum, keuangan, maupun teknis.

Praktik ini bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam hukum korporasi, serta dapat dikategorikan sebagai kelalaian yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

3. Pelanggaran Prinsip Tata Kelola Perusahaan (GCG)

Ketidakpatuhan terhadap standar tata kelola perusahaan yang baik menimbulkan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Berdasarkan Perma No. 13 Tahun 2016, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi dan atas instruksi pengurus.

Konsekuensi Hukum

Pidana Individu: Direksi, komisaris, atau pihak terkait yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dapat dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun.

Pidana Korporasi: PT Saka Energi Indonesia sebagai badan hukum dapat dikenakan denda serta perampasan aset berdasarkan doktrin corporate criminal liability.

Tanggung Jawab Perdata: Negara dapat menempuh jalur perdata untuk melakukan asset recovery melalui gugatan ganti rugi.

Analisis

Kasus Saka Energi mencerminkan lemahnya kontrol dalam pengelolaan investasi BUMN strategis di sektor migas. Selain potensi kerugian triliunan rupiah, praktik tersebut melanggar prinsip kehati-hatian yang wajib dijunjung dalam transaksi korporasi. Secara hukum, jika terbukti adanya kesengajaan atau kelalaian berat (gross negligence), maka penegakan hukum harus dilakukan baik terhadap individu pengurus maupun badan usaha sebagai korporasi.

Kesimpulan

Temuan BPK atas PT Saka Energi Indonesia bukan sekadar persoalan administratif, melainkan dugaan tindak pidana korupsi dengan implikasi serius terhadap keuangan negara. Oleh karena itu, penyidikan Kejaksaan Agung perlu diarahkan untuk memastikan pertanggungjawaban pidana individu maupun korporasi, serta pemulihan aset negara yang berpotensi hilang.

Gugatan Kelangkaan BBM: Menteri ESDM, Pertamina, dan Shell Dihadapkan ke Pengadilan

Kenny Wiston

Seorang konsumen setia PT Shell Indonesia, Tati Suryati, resmi mengajukan gugatan perdata terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, PT Pertamina (Persero), dan PT Shell Indonesia. Gugatan dengan Nomor Perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst tersebut telah terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Melalui kuasa hukumnya, Boyamin Bin Saiman bersama Kurniawan Adi Nugroho dan Ardian Pratomo, penggugat menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Dalil Gugatan

Penggugat mendalilkan dirinya mengalami kerugian akibat kelangkaan BBM RON 98 (V-Power Nitro+) di SPBU Shell BSD 1 dan BSD 2. Akibat kondisi tersebut, penggugat terpaksa menggunakan BBM dengan kualitas lebih rendah (RON 92), yang menurutnya berpotensi menimbulkan kerusakan mesin kendaraan.

Menurut keterangan resmi kuasa hukum, petugas SPBU menyampaikan bahwa pasokan BBM RON 98 habis karena kuota yang dibatasi oleh kebijakan Menteri ESDM, yang mewajibkan SPBU swasta membeli base fuel melalui Pertamina. Kebijakan tersebut, menurut penggugat, bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.

Selain itu, penggugat juga menilai PT Shell Indonesia lalai melindungi konsumen karena gagal menjamin ketersediaan produk premium yang telah dipasarkan.

Kerugian yang Dituntut

Penggugat menuntut ganti rugi dengan rincian:

Kerugian materiil: Rp1,16 juta, dihitung dari ketidakmampuan menggunakan kendaraan sejak 14 September 2024 akibat ketiadaan BBM RON 98.

Kerugian immateriil: Rp500 juta, berupa kecemasan, keresahan, dan kekhawatiran atas dampak penggunaan BBM dengan kualitas lebih rendah terhadap kendaraannya.

Dengan demikian, penggugat memohon agar majelis hakim menyatakan para tergugat telah melakukan PMH dan menghukum mereka secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian tersebut.

Analisis Hukum

Secara yuridis, gugatan ini menguji penerapan Pasal 1365 KUH Perdata yang mensyaratkan empat unsur: adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, timbulnya kerugian, serta hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

1. Menteri ESDM (Tergugat I) didalilkan melakukan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dengan kebijakan pengadaan base fuel melalui Pertamina yang diduga melanggar Perpres 191/2014.

2. Pertamina (Tergugat II) dianggap memperoleh keuntungan dari kebijakan tersebut sehingga menimbulkan indikasi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

3. Shell Indonesia (Tergugat III) dituding lalai dalam menjamin pasokan BBM premium dan gagal memberikan perlindungan konsumen sesuai UU No. 8 Tahun 1999.

Preseden Hukum yang Relevan

Beberapa putusan terdahulu memberi arah pembacaan perkara ini:

Putusan MA No. 286 K/Sip/1973: pemerintah dapat dimintai tanggung jawab perdata bila kebijakannya menimbulkan kerugian warga.

Putusan PN Jakpus No. 239/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst (Garuda Indonesia): perusahaan bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat layanan yang tidak sesuai.

Putusan MA No. 3651 K/Pdt/1985: kerugian immateriil berupa kecemasan dapat diakui secara hukum, meski nilainya disesuaikan dengan asas kepatutan.

Implikasi

Kasus ini menyoroti tiga aspek hukum penting:

1. Pertanggungjawaban pemerintah dalam kebijakan energi yang berimplikasi langsung pada hak konsumen.

2. Potensi monopoli Pertamina dalam distribusi base fuel yang harus dikaji dari perspektif UU Persaingan Usaha.

3. Kewajiban badan usaha swasta (Shell) dalam menjamin hak konsumen atas produk yang dipasarkan.

Putusan atas perkara ini diprediksi akan memberikan preseden penting terkait hubungan antara kebijakan publik, monopoli BUMN, dan perlindungan konsumen dalam sektor energi.

MK Menata Ulang UU Tapera

Kenny Wiston

LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mewajibkan pekerja, baik di sektor formal maupun informal, menjadi peserta program tabungan perumahan. Hal ini menimbulkan keberatan dari kalangan pekerja, khususnya terkait dengan kewajiban pemotongan sebagian penghasilan.

Sebagai respons, Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada tanggal 29 September 2025, MK mengabulkan permohonan tersebut melalui Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024.

ISU HUKUM

1. Apakah kewajiban kepesertaan pekerja dalam Tapera sesuai dengan prinsip konstitusionalitas sebagaimana diatur dalam UUD 1945?

2. Apa konsekuensi hukum dari Putusan MK terhadap hubungan hukum antara pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah?

PERTIMBANGAN HUKUM MK

Konstitusionalitas: MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Kepesertaan Pekerja: MK menegaskan pekerja tidak boleh diwajibkan menjadi peserta Tapera.

Masa Transisi: UU Tapera tetap berlaku, namun harus ditata ulang dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan.

IMPLIKASI HUKUM

1. Bagi Pekerja

Tidak ada lagi kewajiban otomatis menjadi peserta Tapera. Hak pekerja untuk menolak pemotongan penghasilan lebih terjamin. Pekerja tetap memiliki hak konstitusional atas perumahan, tetapi melalui mekanisme yang lebih adil dan sukarela.

2. Bagi Pemberi Kerja

Tidak ada kewajiban melakukan pemotongan gaji pekerja untuk Tapera sebelum adanya penataan ulang. Potensi sengketa hubungan industrial akibat pemotongan upah wajib dapat diminimalisir.

3. Bagi Pemerintah

Wajib melakukan revisi atau pembentukan regulasi baru dalam waktu 2 tahun. Harus mencari alternatif kebijakan pembiayaan perumahan rakyat yang sesuai dengan prinsip konstitusionalitas, seperti subsidi, insentif, atau skema kredit.

REKOMENDASI

1. Untuk Pekerja dan Serikat Pekerja

Mengawasi proses legislasi penataan ulang UU Tapera agar tidak kembali merugikan pekerja. Menyusun posisi advokasi yang menekankan asas sukarela, transparansi, dan akuntabilitas.

2. Untuk Pemberi Kerja/Perusahaan

Menghentikan sementara rencana pemotongan gaji pekerja untuk Tapera hingga adanya aturan baru.  Menyiapkan kebijakan perusahaan terkait kesejahteraan perumahan pekerja yang lebih fleksibel dan sesuai kebutuhan.

3. Untuk Pemerintah

Melibatkan tripartit (pemerintah, pekerja, pemberi kerja) dalam penataan ulang.  Menyusun regulasi alternatif pembiayaan perumahan berbasis keadilan sosial tanpa membebani pekerja.

KESIMPULAN

Putusan MK Nomor 96/PUU-XXII/2024 merupakan tonggak penting dalam perlindungan hak-hak pekerja. Kepesertaan dalam program Tapera kini tidak lagi bersifat wajib, dan UU Tapera harus ditata ulang agar sesuai dengan UUD 1945. Dalam masa transisi 2 tahun, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyiapkan regulasi yang lebih adil, sedangkan pekerja dan pemberi kerja memperoleh kepastian hukum atas hubungan kerja tanpa beban tambahan yang inkonstitusional.

 

Masukan RUU BUMN: Minimalisir Kriminalisasi Pengurus

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

RUU BUMN sedang digodok. Perlu masukan agar pengurus BUMN dapat bekerja dengan tenang dan profesional tanpa dihantui rasa takut dan kriminalisasi atas kerugian BUMN. Harus ada penjabaran mana  yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara atau BUMN, dan apa keterkaitan unsur pihak yang diuntungkan dalam hukum administrasi dan tindak pidana korupsi.  Selain itu, tulisan ini memberikan kiat-kiat praktis untuk menghindari kriminalisasi terhadap pengurus BUMN apabila terjadi kerugian BUMN. Seluruh analisis didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang berlaku di Indonesia.

PEMBAHASAN

  1. Kualifikasi Kerugian BUMN sebagai Kerugian Negara
  • Kerugian BUMN yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang BPK dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  • Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, BUMN adalah badan usaha yang modalnya dimiliki negara, baik seluruh maupun sebagian besar.
  • Modal BUMN dapat berasal dari APBN maupun non-APBN, dan kekayaan BUMN yang berasal dari APBN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
  • Kerugian negara menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang BPK adalah kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.
  • Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Perbendaharaan Negara memperluas cakupan penyelesaian kerugian negara pada pengelola BUMN yang sahamnya dimiliki negara minimal 51%, kecuali diatur lain.
  • Terdapat perbedaan pendapat dalam praktik dan doktrin hukum mengenai apakah setiap kerugian BUMN otomatis merupakan kerugian negara. Sebagian pendapat menegaskan kekayaan BUMN, khususnya Persero, adalah kekayaan terpisah dari negara, sehingga kerugian BUMN tidak selalu dapat dikategorikan sebagai kerugian negara, kecuali jika secara nyata dan pasti mengurangi kekayaan negara yang dipisahkan.
  • Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 62/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa pemisahan kekayaan negara dalam BUMN tidak berarti kekayaan BUMN terlepas dari kekayaan negara, sehingga dalam konteks tertentu kerugian BUMN tetap dapat dianggap sebagai kerugian negara.
  • Penetapan kerugian negara dalam kasus BUMN hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dan perhitungan BPK sesuai Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BPK.

Dengan demikian, kerugian BUMN yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara adalah kerugian yang secara nyata dan pasti mengurangi kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN, khususnya apabila terjadi akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, dan terbukti melalui pemeriksaan oleh BPK.

  1. Unsur Pihak yang Diuntungkan dalam Hukum Administrasi dan Kaitannya dengan UU Tipikor
  • Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), unsur “menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi” merupakan elemen penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi.
  • Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana.
  • Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga dipidana.
  • Dalam hukum administrasi, unsur adanya pihak yang diuntungkan sering kali menjadi syarat untuk membedakan antara pelanggaran administratif dan tindak pidana korupsi.
  • Dalam UU Tipikor, unsur “menguntungkan” tidak terbatas pada keuntungan materiil, melainkan juga dapat berupa keuntungan non-materiil yang diperoleh secara melawan hukum.
  • Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, sebagaimana dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum mencakup baik perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (formil) maupun yang bertentangan dengan rasa keadilan atau norma sosial (materiil).
  • Dengan demikian, jika suatu pelanggaran administratif juga memenuhi unsur memperkaya atau menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian negara, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Jadi, dalam UU Tipikor, keberadaan pihak yang diuntungkan merupakan unsur esensial, dan jika unsur ini terpenuhi bersama dengan unsur melawan hukum dan kerugian negara, maka pelanggaran administratif dapat bertransformasi menjadi tindak pidana korupsi.

      3. Masukan dan Penjabaran dalam RUU BUMN untuk Perlindungan Pengurus BUMN

  • Penegasan prinsip business judgment rule perlu diakomodasi secara eksplisit dalam Undang-Undang BUMN, sebagaimana diatur dalam Pasal 9F ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, tidak ada benturan kepentingan, serta telah mengambil tindakan pencegahan.
  • Pembatasan kualifikasi kerugian BUMN sebagai kerugian negara harus dijabarkan dan ditegaskan, sebagaimana dalam Pasal 4B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, bahwa keuntungan atau kerugian BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN, bukan negara.
  • Standar pembuktian unsur melawan hukum dan keuntungan pribadi harus diatur rinci, sehingga sanksi pidana korupsi hanya dapat dikenakan apabila terbukti adanya perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta menimbulkan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
  • Perlindungan hukum bagi pengurus yang beritikad baik perlu ditegaskan dalam Undang-Undang BUMN, sebagaimana diatur dalam Pasal 9F ayat (1) dan (2).
  • Penetapan kerugian negara dalam kasus BUMN hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dan perhitungan BPK, sesuai Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BPK.
  • Penguatan etika dan tata kelola melalui kepatuhan pada Pasal 41 dan Pasal 42 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023.
  • Penegasan Status Kekayaan BUMN, dalam RUU bahwa modal negara yang dipisahkan pada BUMN bukan lagi bagian dari APBN, tetapi menjadi kekayaan BUMN yang tunduk pada prinsip hukum perseroan terbatas. Konsekuensinya, kerugian dalam kegiatan usaha BUMN adalah business loss, bukan otomatis kerugian negara.
  • Definisi Kerugian Negara vs Kerugian Perusahaan, RUU harus mendefinisikan secara tegas kerugian negara: penyalahgunaan keuangan negara sebelum dipisahkan atau penyetoran laba/dividen yang tidak sesuai aturan. Kerugian BUMN: risiko bisnis akibat dinamika pasar, salah strategi, atau fluktuasi harga yang masih dalam koridor keputusan bisnis wajar.
  • Perlu pemisahan normatif: kerugian BUMN ≠ kerugian negara, kecuali ada bukti fraud, korupsi, atau benturan kepentingan.

Dengan penjabaran di atas, RUU BUMN dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang memadai bagi pengurus BUMN, sehingga mereka dapat bekerja secara profesional tanpa rasa takut yang berlebihan terhadap risiko kriminalisasi atas kerugian bisnis yang wajar.

  1. Kiat Menghindari Kriminalisasi terhadap Pengurus BUMN atas Kerugian BUMN
  • Melaksanakan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian sesuai Pasal 9F ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.
  • Menghindari benturan kepentingan dan keuntungan pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 9E dan Pasal 9F ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.
  • Mengambil tindakan pencegahan atas potensi kerugian sesuai Pasal 9F ayat (1) huruf d.
  • Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 9D Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.
  • Mendokumentasikan setiap keputusan dan proses bisnis secara transparan dan akuntabel untuk membuktikan kepatuhan terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
  • Mematuhi pedoman etika dan kebijakan anti korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023.
  • Memastikan kerugian BUMN tidak otomatis dianggap kerugian negara, sesuai Pasal 4B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.

Dengan menerapkan kiat-kiat di atas, pengurus BUMN dapat meminimalisir risiko kriminalisasi atas kerugian BUMN selama tindakan yang diambil telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian, itikad baik, dan tidak melanggar hukum.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa RUU BUMN perlu menegaskan kerugian BUMN hanya dapat dikategorikan sebagai kerugian negara apabila secara nyata dan pasti mengurangi kekayaan negara yang dipisahkan dan terjadi akibat perbuatan melawan hukum. Pengurus BUMN harus dilindungi melalui penerapan prinsip business judgment rule, pembatasan kualifikasi kerugian, serta perlindungan hukum bagi tindakan yang dilakukan dengan itikad baik. Rekomendasi normatif termasuk meliputi penegasan status kekayaan, rincian definisi kerugian dan pembatasan normatif mana yang merupakan kerugian BUMN dan atau  Negara.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Aggregator Migas di Indonesia

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Memorandum ini membahas aspek hukum terkait fungsi, kriteria, dan penetapan aggregator atau penyangga migas di Indonesia, termasuk pihak yang dapat dan seharusnya didukung sebagai aggregator, serta perbandingan dengan praktik internasional. Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya di sektor hilir migas, dengan menyoroti mekanisme perizinan, penugasan, dan pengawasan pemerintah. Tujuan memorandum ini adalah memberikan pemahaman komprehensif dan rekomendasi normatif terkait penunjukan dan dukungan terhadap aggregator migas sesuai kerangka hukum nasional.

PEMBAHASAN

  1. Pengaturan Fungsi Aggregator atau Penyangga Migas di Indonesia
  • Istilah “aggregator” atau “penyangga” secara eksplisit tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan migas di Indonesia.
  • Fungsi serupa dijalankan oleh Badan Usaha yang menjamin ketersediaan, penyimpanan, dan distribusi migas melalui mekanisme perizinan dan kewajiban badan usaha di sektor hilir.
  • Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004:
    • Setiap kegiatan usaha hilir migas, termasuk penyimpanan dan niaga, hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha dari Menteri (Pasal 2 dan Pasal 43).
    • Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha penyimpanan wajib memiliki Izin Usaha Penyimpanan dari Menteri (Pasal 37).
    • Pemegang Izin Usaha Penyimpanan wajib memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memanfaatkan fasilitas penyimpanan secara bersama (Pasal 40).
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001mengatur:
    • Dalam hal kelangkaan atau di daerah terpencil, fasilitas pengangkutan dan penyimpanan dapat dimanfaatkan bersama berdasarkan pengaturan Badan Pengatur (Pasal 29).
    • Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi BBM di seluruh wilayah Indonesia serta menjaga cadangan nasional (Pasal 8 ayat (2)).
  • Penetapan alokasi cadangan BBM dari masing-masing Badan Usaha untuk memenuhi cadangan nasional juga diatur oleh Badan Pengatur (Pasal 8 ayat (1) huruf c PP 36/2004).
  • Dengan demikian, fungsi aggregator diakomodasi melalui mekanisme perizinan dan pengaturan fasilitas penyimpanan serta distribusi migas, meskipun istilahnya tidak disebutkan secara eksplisit.
  1. Pihak yang Tepat Menjadi Aggregator Migas di Indonesia
  • Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Pasal 9 ayat (1):
    • Kegiatan usaha hilir migas, termasuk penyimpanan dan niaga, dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, maupun badan usaha swasta, sepanjang memenuhi persyaratan perizinan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004Pasal 43 dan Pasal 37:
    • Badan Usaha wajib memiliki Izin Usaha Niaga dan/atau Izin Usaha Penyimpanan dari Menteri.
  • Fungsi aggregator dijalankan oleh Badan Usaha yang telah memperoleh izin usaha penyimpanan dan/atau niaga, baik BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, maupun swasta.
  • Pemegang izin usaha penyimpanan wajib memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memanfaatkan fasilitas penyimpanan secara bersama (Pasal 40 PP 36/2004).
  • Dengan demikian, pihak yang tepat menjadi aggregator migas adalah Badan Usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin usaha niaga dan/atau penyimpanan dari Menteri.
  1. Kemungkinan Jumlah Aggregator Migas Lebih dari Satu
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Pasal 9 ayat (1):
    • Tidak ada pembatasan jumlah pelaku usaha hilir migas sepanjang memenuhi persyaratan perizinan.
  • Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019Pasal 24 ayat (2):
    • Penyediaan dan pendistribusian gas bumi melalui Jargas dapat dilakukan oleh BUMN Migas, BUMD, badan usaha swasta, atau koperasi.
  • Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2018Pasal 2 dan 3:
    • Kegiatan usaha gas bumi di sektor hilir dapat dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum Indonesia yang memenuhi ketentuan transparansi, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang sehat.
  • Dengan demikian, secara hukum, aggregator migas dapat terdiri dari lebih dari satu badan usaha selama memenuhi persyaratan perizinan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Perbandingan Internasional Mengenai Aggregator Migas
  • Di Amerika Serikat, aggregator migas dijalankan oleh perusahaan swasta berlisensi dari otoritas energi federal dan negara bagian, dengan regulasi FERC terkait transparansi dan persaingan usaha.
  • Di Uni Eropa, aggregator berbentuk perusahaan utilitas atau operator sistem transmisi (TSO) yang diatur oleh ENTSOG dan tunduk pada regulasi Third Energy Package, dengan prinsip unbundling dan akses non-diskriminatif.
  • Di Jepang dan Korea Selatan, aggregator adalah perusahaan milik negara atau swasta yang memperoleh izin khusus dari pemerintah untuk mengimpor, menyimpan, dan mendistribusikan LNG dan gas bumi.
  • Di Australia, aggregator dapat berupa perusahaan swasta atau konsorsium yang mendapat izin dari Australian Energy Regulator (AER) untuk pembelian, penyimpanan, dan penyaluran gas bumi.
  • Model di Indonesia yang mengatur aggregator migas melalui mekanisme izin usaha niaga dan/atau penyimpanan oleh badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, maupun swasta, sejalan dengan praktik internasional yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan pemerintah (UU 22/2001, Permen ESDM 4/2018).
  1. Pihak yang Seharusnya Didukung sebagai Aggregator Migas
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Pasal 9 ayat (1):
    • Dukungan dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, maupun badan usaha swasta yang memenuhi persyaratan perizinan.
  • Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019Pasal 14 dan 16:
    • Dalam praktiknya, BUMN Migas seperti Pertamina dan PGN seringkali menjadi pihak yang ditugaskan dan didukung oleh pemerintah.
  • Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2015Pasal 3 dan 4:
    • Penugasan kepada BUMN Migas untuk pengoperasian jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga.
  • Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019Pasal 24 ayat (2):
    • Peluang juga terbuka bagi BUMD, badan usaha swasta, dan koperasi untuk berperan sebagai aggregator.
  • Dengan demikian, dukungan utama dapat diberikan kepada BUMN Migas, namun tidak menutup kemungkinan bagi BUMD, koperasi, usaha kecil, dan badan usaha swasta yang telah memperoleh izin usaha niaga dan/atau penyimpanan dari Menteri.
  1. Kelayakan Pertamina dan PGN sebagai Aggregator Migas
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Pasal 9 ayat (1):
    • BUMN seperti Pertamina dan PGN dapat melaksanakan kegiatan usaha hilir migas, termasuk penyimpanan dan niaga, sepanjang telah memperoleh izin usaha yang relevan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004Pasal 43 dan Pasal 37:
    • Pertamina dan PGN sebagai BUMN telah memenuhi persyaratan izin usaha niaga dan/atau penyimpanan.
  • Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019Pasal 14, 16, dan 30:
    • BUMN Migas, dalam praktiknya Pertamina dan/atau PGN, ditugaskan untuk pengelolaan dan pendistribusian gas bumi melalui jaringan gas (Jargas).
  • Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2015Pasal 3 dan 4:
    • Pengoperasian jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga yang dibangun oleh pemerintah dilaksanakan berdasarkan penugasan dari Menteri kepada BUMN Migas.
  • Dengan demikian, Pertamina dan PGN secara hukum memenuhi kriteria sebagai aggregator migas di Indonesia.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan, fungsi aggregator migas di Indonesia dijalankan oleh Badan Usaha yang telah memperoleh izin usaha niaga dan/atau penyimpanan dari Menteri, tanpa pembatasan jumlah pelaku. Pertamina dan PGN sebagai BUMN Migas memenuhi kriteria sebagai aggregator, namun peluang juga terbuka bagi BUMD, koperasi, usaha kecil, dan swasta. Dukungan utama dapat diberikan kepada BUMN Migas, namun tetap memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat dan keterbukaan akses bagi badan usaha lain yang memenuhi persyaratan perizinan.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

SKK Migas: Model Lembaga Pengelola Hulu Migas Ideal?

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Tulisan ini membahas tata kelola kelembagaan hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, dengan fokus pada sejarah pembentukan SKK Migas, implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait BP Migas, status kelembagaan SKK Migas, serta perbandingan dengan praktik internasional. Analisis dilakukan berdasarkan kerangka hukum nasional, khususnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, serta peraturan pelaksana terkait. Tujuan memorandum ini adalah memberikan rekomendasi normatif mengenai model kelembagaan ideal untuk pengelolaan hulu migas yang efektif, akuntabel, dan sesuai prinsip penguasaan negara.

PEMBAHASAN

1. Sejarah SKK Migas dan Lepasnya Fungsi Regulator Dari Pertamina

  • SKK Migas dibentuk sebagai respons atas perubahan tata kelola sektor hulu migas di Indonesia.
  • Awalnya, Pertamina (berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971) memegang peran utama sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas, termasuk pengelolaan kontrak kerja sama dengan pihak ketiga.
  • Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terjadi pemisahan fungsi regulator/pengawas dan pelaku usaha, di mana pelaksanaan dan pengawasan kegiatan usaha hulu dialihkan dari Pertamina kepada badan pelaksana independen.
  • Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003, Pertamina diubah menjadi PT Pertamina (Persero), dan hak serta kewajiban dalam usaha hulu beralih ke BP Migas.
  • BP Migas kemudian dibubarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, dan pemerintah membentuk SKK Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
  • SKK Migas saat ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola kontrak kerja sama, sedangkan Pertamina berperan sebagai pelaku usaha yang dapat menjadi kontraktor pada wilayah kerja tertentu, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2022.

2. Alasan Mahkamah Konstitusi Menyatakan BP Migas Bertentangan dengan UUD 1945

  • Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3).
  • MK menilai penguasaan negara atas sumber daya alam strategis, termasuk migas, harus diwujudkan melalui kebijakan, pengelolaan, dan pengawasan langsung oleh negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diserahkan kepada badan mandiri yang terpisah dari pemerintah.
  • BP Migas dinilai tidak sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah, sehingga berpotensi mengurangi peran negara dalam mengelola sumber daya migas secara langsung.
  • MK menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam strategis tidak boleh dipisahkan dari fungsi negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas sumber daya tersebut.
  • Akibat putusan tersebut, seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur BP Migas dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan pengelolaan usaha hulu migas harus kembali di bawah kendali langsung pemerintah.

3. Status Sementara SKK Migas dan Solusi Ideal Lembaga Pengelola

  • SKK Migas dibentuk sebagai satuan kerja khusus di bawah Kementerian ESDM berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013sebagai solusi sementara pasca pembubaran BP Migas.
  • Status sementara SKK Migas ditegaskan dalam konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan terkait, yang menyatakan pengelolaan hulu migas akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang baru.
  • Idealnya, diperlukan pembentukan badan atau lembaga pengelola hulu migas yang secara tegas berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah (eksekutif), dengan pengaturan yang jelas dalam undang-undang.
  • Badan pengelola yang ideal harus memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian kegiatan usaha hulu migas, namun tetap berada di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah pusat, bukan sebagai badan otonom yang terpisah.
  • Pengaturan kelembagaan ke depan harus memberikan kepastian hukum, efisiensi tata kelola, serta mencegah konflik kepentingan antara regulator dan pelaku usaha, sebagaimana menjadi tujuan utama pemisahan fungsi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

4. SKK Migas dan KESDM

  • Secara hukum, SKK Migas berada di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Menteri ESDM, meskipun Kepala SKK Migas bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang signifikan, memengaruhi efektivitas pengelolaan hulu migas di Indonesia.

      Kelebihan:

  • Sinergi dan Koordinasi yang Terpusat: Dengan berada di bawah Kementerian ESDM, koordinasi antara kebijakan hulu migas dan kebijakan energi nasional menjadi lebih mudah. SKK Migas dan Ditjen Migas di Kementerian ESDM bisa bekerja sama lebih erat, sehingga kebijakan pemerintah, seperti percepatan proyek atau penggunaan energi terbarukan, dapat selaras dengan program hulu migas.
  • Pengambilan Keputusan Lebih Cepat:Keberadaan SKK Migas dalam satu atap kementerian dapat memangkas jalur birokrasi, terutama terkait perizinan dan persetujuan. Ini bisa membuat proses operasional menjadi lebih efisien, karena tidak harus menunggu persetujuan dari lembaga yang terpisah dari pemerintah.
  • Pengawasan yang Lebih Ketat:Pengawasan langsung oleh Menteri ESDM, yang juga menjadi ketua Komisi Pengawas, membuat kinerja SKK Migas lebih terawasi. Ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan memastikan semua keputusan sejalan dengan target pemerintah.
  • Dukungan Kebijakan:Kementerian ESDM dapat memberikan dukungan kebijakan yang lebih kuat untuk SKK Migas, misalnya dalam hal insentif fiskal atau penawaran wilayah kerja. Ini penting untuk menarik investasi baru dan mendorong kegiatan eksplorasi yang lesu.

      Kekurangan:

  • Potensi Konflik Kepentingan: Posisi SKK Migas sebagai pengawas kegiatan hulu migas bisa berpotensi tumpang tindih dengan fungsi Ditjen Migas di Kementerian ESDM. Hal ini bisa menimbulkan kebingungan peran, terutama dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.
  • Kurang Fleksibel dan Lambat dalam Urusan Komersial:Sebagai lembaga pemerintah di bawah kementerian, SKK Migas terikat pada prosedur birokrasi yang kaku. Padahal, industri migas sangat dinamis dan membutuhkan keputusan bisnis yang cepat. Hal ini membuat SKK Migas kurang fleksibel dalam negosiasi atau mengambil keputusan komersial dibandingkan model perusahaan migas nasional (National Oil Company).
  • Keterbatasan Kewenangan:Meskipun bertanggung jawab kepada Presiden, secara teknis SKK Migas tetap harus mengikuti arahan Menteri ESDM. Ini bisa membatasi otonomi SKK Migas dalam mengambil keputusan strategis, terutama yang bersifat jangka panjang dan lintas kementerian.
  • Status Hukum yang Tidak Pasti:SKK Migas masih berstatus “sementara” karena belum adanya undang-undang yang permanen. Walaupun berada di bawah Kementerian ESDM, status ini membuat investor ragu akan keberlanjutan dan kepastian hukum dalam jangka panjang.
  • Secara keseluruhan, model saat ini yang menempatkan SKK Migas di bawah Kementerian ESDM menciptakan sinergi yang baik, tetapi juga mewarisi masalah birokrasi dan keterbatasan wewenang yang menghambat sektor hulu migas untuk berkembang lebih cepat. Ini menjadi alasan utama mengapa revisi UU Migas dan pembentukan lembaga permanen yang kuat sangat mendesak.

5. Lembaga Pengelola Hulu Migas Ideal

  • Lembaga pengelola hulu migas harus berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat, bukan sebagai badan otonom atau mandiri, agar penguasaan negara atas sumber daya migas tetap terjaga sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.
  • Kelembagaan tersebut harus diatur secara tegas dalam undang-undang, bukan hanya melalui peraturan presiden atau peraturan menteri, untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari dualisme peran antara regulator dan pelaku usaha.
  • Fungsi utama lembaga ini meliputi pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian seluruh kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama, dengan tetap menjamin transparansi, akuntabilitas, dan pengutamaan kemakmuran rakyat.
  • Struktur organisasi lembaga ideal harus memungkinkan pengawasan internal dan eksternal yang efektif, serta melibatkan unsur pemerintah secara langsung dalam pengambilan keputusan strategis, sebagaimana dicontohkan dalam pengaturan Komisi Pengawas pada SKK Migas dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
  • Lembaga pengelola tidak boleh merangkap sebagai pelaku usaha, untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga objektivitas pengelolaan.
  • Kewenangan lembaga harus meliputi pemberian pertimbangan atas penyiapan dan penawaran wilayah kerja, penandatanganan kontrak kerja sama, pengawasan pelaksanaan kontrak, serta penunjukan penjual minyak dan gas bumi bagian negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2022.
  • Saat ini, pembentukan lembaga permanen yang ideal untuk mengelola hulu migas di Indonesia masih menjadi pembahasan dalam revisi Undang-Undang Migas. Konsep yang paling sering diusulkan untuk menggantikan SKK Migas adalah Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

Beberapa poin penting dari model ideal BUK Migas ini antara lain:

  • Mandat yang Kuat dan Jelas: BUK Migas yang ideal harus memiliki mandat yang kuat sebagai “leading sector” atau pemimpin dalam industri hulu migas. Tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, lembaga ini juga harus diberikan wewenang yang lebih besar, termasuk dalam hal:
  • Koordinasi lintas kementerian: Permasalahan perizinan dan pajak yang tumpang tindih dengan kementerian lain (seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Perindustrian) sering kali menjadi kendala bagi investor. BUK Migas yang ideal harus bisa menjadi koordinator utama untuk memangkas birokrasi ini.
  • Pengambilan keputusan strategis: Lembaga ini harus memiliki otonomi untuk mengambil keputusan cepat terkait eksplorasi dan produksi, sehingga tidak terhambat oleh proses birokrasi yang panjang.
  • Fungsi ganda (Regulator dan Operator): Beberapa ahli menyarankan BUK Migas bisa meniru model “National Oil Company” (NOC) seperti Petronas di Malaysia. Artinya, lembaga ini tidak hanya mengatur, tetapi juga bisa berpartisipasi langsung dalam kegiatan bisnis hulu migas melalui anak perusahaannya, sekaligus tetap menjalankan fungsi pengawasan.
  • Mendorong Investasi dan Eksplorasi: Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menarik investasi hulu migas, terutama untuk kegiatan eksplorasi yang berisiko tinggi. Model BUK Migas yang ideal harus mampu menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dengan: Skema fiskal yang fleksibel dan kompetitif: Pemerintah perlu menawarkan skema bagi hasil (Production Sharing Contract) atau skema ain yang lebih menarik bagi investor, disesuaikan dengan karakteristik tiap wilayah kerja. Kepastian hukum dan kontrak: Investor membutuhkan kepastian bahwa kontrak yang mereka tandatangani tidak akan berubah di tengah jalan. BUK Migas yang permanen dan kuat akan memberikan jaminan ini. Penyederhanaan perizinan: Mengurangi jumlah izin yang diperlukan dan mempercepat prosesnya adalah kunci untuk mempercepat proyek hulu migas. Akuntabilitas dan Pengawasan yang Ketat: Meskipun diberikan wewenang yang lebih besar, lembaga pengganti SKK Migas harus tetap memiliki akuntabilitas yang tinggi.
  • Model yang ideal harus memastikan adanya: Pengawasan langsung dari Presiden: Seperti SKK Migas saat ini, lembaga baru harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk memastikan visi dan target nasional tercapai. Transparansi dalam pengelolaan pendapatan negara: Sistem yang transparan harus diterapkan untuk memastikan penerimaan negara dari migas dikelola dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Penerapan good governance: Menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good governance) untuk mencegah korupsi dan memastikan operasional yang efisien.

Secara singkat, BUK Migas yang ideal bukanlah sekadar nama baru, melainkan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan penuh, terpisah dari regulasi yang rumit, dan didukung oleh undang-undang yang kuat untuk menjadi motor penggerak industri hulu migas Indonesia. Ini merupakan langkah fundamental untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2030.

6. Perbandingan Internasional dan Evaluasi Pengaturan di Indonesia

  1. Terdapat dua model utama pengelolaan hulu migas di dunia:
    1. Model National Oil Company (NOC) sebagai operator tunggal dan regulator, seperti yang pernah diterapkan Indonesia melalui Pertamina, juga ditemukan di Arab Saudi (Saudi Aramco) dan Iran (NIOC). Model ini memberikan kontrol penuh kepada negara namun berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan kurangnya transparansi.
    2. Model pemisahan fungsi regulator dan operator, sebagaimana diterapkan di Norwegia (Norwegian Petroleum Directorate sebagai regulator dan Equinor sebagai operator) serta Malaysia (Petronas sebagai NOC di bawah pengawasan pemerintah). Model ini menekankan transparansi, akuntabilitas, dan pencegahan konflik kepentingan.
  2. Indonesia saat ini menganut model pemisahan antara regulator (SKK Migas sebagai perpanjangan tangan pemerintah) dan pelaku usaha (BUMN, BUMD, swasta, dan asing), yang sejalan dengan praktik internasional terbaik.
  3. Namun, kelembagaan SKK Migas masih bersifat sementara dan belum diatur secara permanen dalam undang-undang, sehingga kepastian hukumnya belum optimal.
  4. Idealnya, pengelolaan hulu migas di Indonesia ke depan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang, dengan lembaga pengelola yang berada di bawah pemerintah, tidak merangkap sebagai pelaku usaha, dan memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan, pengawasan, serta pengendalian kegiatan usaha hulu migas.

7. Beberapa langkah penting dan tantangan yang harus diatasi untuk merealisasikan pengelolaan hulu migas yang ideal

Ada beberapa langkah penting dan tantangan yang harus diatasi untuk merealisasikan pengelolaan hulu migas yang ideal, terutama dengan pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas:

a. Percepatan Revisi Undang-Undang Migas

Ini adalah langkah paling krusial. Pembentukan BUK Migas sebagai lembaga permanen membutuhkan dasar hukum yang kuat, yaitu UU Migas yang baru. Amanat Konstitusi: BUK Migas merupakan amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang membubarkan BP Migas. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah perlu segera menyelesaikan revisi UU Migas ini dengan mendefinisikan secara jelas tugas dan fungsinya agar tidak tumpang tindih dengan lembaga lain. Definisi Peran: Undang-undang baru harus secara eksplisit mendefinisikan BUK Migas sebagai regulator sekaligus operator, seperti yang diamanatkan MK, agar dapat memiliki fungsi kebijakan dan pengusahaan.

b. Peningkatan Daya Tarik Investasi

Indonesia menghadapi tantangan investasi yang terbatas di sektor hulu migas. Agar BUK Migas bisa efektif, perlu ada perbaikan fundamental untuk menarik investor. Skema Fiskal yang Kompetitif: Pemerintah perlu menawarkan skema bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) atau sistem lain yang lebih fleksibel dan menarik, disesuaikan dengan risiko dan potensi di setiap wilayah kerja. Penyederhanaan Perizinan: Biaya dan waktu yang besar untuk perizinan adalah hambatan utama. Perlu ada sistem “satu atap, satu pintu” untuk semua perizinan terkait hulu migas, yang mencakup koordinasi lintas kementerian (misalnya dengan KLHK dan Kementerian Keuangan). Kepastian Hukum dan Kontrak: Undang-undang baru harus menjamin kepastian bagi investor bahwa kontrak yang telah disepakati akan dihormati dan tidak akan diubah di tengah jalan.

c. Penguatan Kelembagaan dan SDM

Model ideal BUK Migas tidak akan berjalan tanpa dukungan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.

  • Independensi Kelembagaan: BUK Migas harus memiliki posisi independen dan otonom, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, agar terhindar dari intervensi politik dan birokrasi yang menghambat.
  • Integrasi SDM: Seluruh SDM SKK Migas yang kompeten perlu diserap ke dalam BUK Migas agar kesinambungan operasional dan keahlian tidak hilang.
  • Tata Kelola yang Baik (Good Governance): Penting untuk menerapkan sistem pengawasan yang ketat dan transparan, termasuk melibatkan lembaga seperti KPK, BPK, dan BPKP, untuk memastikan semua proses bisnis berjalan efisien dan akuntabel, serta bebas dari praktik korupsi.

d. Pembentukan Dana Migas (Petroleum Fund)

Isu mengenai pembentukan dana migas khusus kembali mengemuka di DPR. Dana ini akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek eksplorasi yang berisiko tinggi dan sulit mendapatkan pendanaan.

Sumber Pendanaan: Dana ini dapat berasal dari kontribusi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Pemanfaatan: Dana migas ini bisa dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan eksplorasi besar-besaran, terutama di area laut dalam (deepwater), yang membutuhkan modal dan teknologi tinggi.

Dengan langkah-langkah ini, BUK Migas diharapkan tidak hanya menggantikan SKK Migas, tetapi juga menjadi instrumen yang kuat untuk mencapai target produksi migas nasional, menarik investasi, dan menjamin ketahanan energi jangka panjang bagi Indonesia.

KESIMPULAN

Apakah Pemerintah perlu membentuk BUK Migas mengingat plus minus keberadaan SKK Migas saat ini? Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hulu migas di Indonesia telah mengarah pada praktik tata kelola yang ideal secara internasional, dengan pemisahan fungsi regulator dan pelaku usaha. Namun, status kelembagaan SKK Migas yang masih sementara memerlukan penguatan melalui pembentukan badan pengelola permanen yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Rekomendasi utama adalah segera melakukan pembaruan regulasi untuk membentuk lembaga pengelola hulu migas yang berada di bawah pemerintah, tidak merangkap sebagai pelaku usaha, dan memiliki kewenangan penuh serta akuntabilitas tinggi demi kemakmuran rakyat.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Wacana dan Masa Depan KBUMN Dalam Kacamata Hukum

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Saat ini, ada berbagai wacana dan pendapat mengenai masa depan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Pemerintah telah membubarkan beberapa BUMN yang dinilai tidak sehat. Sementara itu, wacana peleburan Kementerian BUMN ke dalam Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara juga mengemuka, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto melantik Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, meskipun Istana membantah kabar pembubaran kementerian tersebut.

Di sisi lain, ada juga pandangan dari beberapa pihak yang berpendapat bahwa Kementerian BUMN sebaiknya dibubarkan karena dianggap tumpang tindih dengan fungsi Danantara. Namun, keberadaan Kementerian BUMN sendiri secara tata negara dianggap berbeda dengan Danantara yang merupakan badan usaha.  Secara singkat, terdapat tiga opsi yang menjadi bahan diskusi:

Pembubaran BUMN: Pemerintah telah melakukannya pada beberapa perusahaan yang tidak sehat.

Peleburan ke Danantara: Wacana ini sedang dikaji dan didiskusikan oleh pemerintah.

Kementerian BUMN tetap ada: Opsi ini juga masih mungkin, seperti yang ditegaskan oleh Istana.

Memorandum ini membahas status hukum, relevansi fungsi, serta opsi restrukturisasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN) setelah pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan terbaru, dengan fokus pada kemungkinan pembubaran, penggabungan, atau perubahan status KBUMN, serta perangkat hukum dan roadmap legislasi yang diperlukan. Tujuan memorandum ini adalah memberikan landasan hukum dan rekomendasi normatif bagi pemerintah dalam mengambil langkah strategis terkait tata kelola BUMN sesuai kerangka hukum Indonesia.

PEMBAHASAN

  1. Status dan Fungsi KBUMN Pasca Pembentukan Danantara
  • KBUMN tidak dibubarkan maupun digabung ke Danantara berdasarkan ketentuan hukum terbaru.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 menegaskan bahwa Presiden hanya melimpahkan sebagian tugas dan kewenangan pengelolaan BUMN kepada Danantara, bukan seluruhnya.
  • KBUMN tetap eksis sebagai kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN (Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025).
  • Koordinasi antara Danantara dan KBUMN tetap diwajibkan (Pasal 30 ayat (1) PP 10/2025).
  • Pembentukan Holding Investasi dan Holding Operasional dilakukan bersama antara Danantara dan Menteri BUMN (Pasal 4 ayat (2) huruf c PP 10/2025).
  • KBUMN mengalami perubahan peran menjadi regulator, pembina, dan pengawas kebijakan makro, sementara fungsi operasional dan investasi dialihkan ke Danantara.
  • Kewenangan strategis dan residual tetap melekat pada KBUMN, termasuk dalam penetapan kebijakan strategis dan pengawasan umum.
  1. Relevansi Fungsi Koordinasi, Regulasi, dan Pengawasan KBUMN
  • Fungsi koordinasi, regulasi, dan pengawasan oleh KBUMN tetap relevan meskipun telah dibentuk Danantara.
  • Pelimpahan kewenangan kepada Danantara bersifat parsial, bukan total (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 angka 2 PP 10/2025).
  • KBUMN tetap memiliki tugas menetapkan kebijakan, mengatur, membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan BUMN (Pasal 3B UU 19/2003 jo. UU 1/2025).
  • Kewenangan strategis tetap dimiliki KBUMN, termasuk pembentukan holding dan restrukturisasi BUMN (Pasal 4 ayat (2) huruf c dan d PP 10/2025).
  • Fungsi koordinasi, regulasi, dan pengawasan KBUMN diperlukan untuk menjaga keseimbangan tata kelola, mencegah konflik kepentingan, dan memastikan akuntabilitas.
  1. Perangkat Hukum yang Diperlukan Jika KBUMN Dibubarkan
  1. Langkah Hukum Cepat Jika UU Belum Diubah
  • Pembubaran KBUMN tidak dapat dilakukan secara sah hanya dengan langkah administratif atau eksekutif jika UU 19/2003 jo. UU 1/2025masih berlaku.
  • KBUMN tetap eksis secara hukum selama ketentuan undang-undang tersebut belum diubah atau dicabut.
  • Satu-satunya langkah cepat yang dapat diambil adalah mempercepat proses legislasi revisi atau pencabutan pasal-pasal terkait dalam UU 19/2003 jo. UU 1/2025 melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai UU 12/2011.
  • Langkah administratif tanpa perubahan undang-undang berpotensi menimbulkan dualisme dan cacat hukum.
  1. Langkah yang Sebaiknya Dilakukan Pemerintah dalam Menyikapi KBUMN
  • Pemerintah harus konsisten dengan kerangka hukum yang berlaku, di mana KBUMN tetap diakui sebagai kementerian (Pasal 3A, 3B, 3C UU 19/2003 jo. UU 1/2025).
  • Evaluasi menyeluruh terhadap fungsi, tugas, dan kewenangan KBUMN perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih dengan Danantara.
  • Penyesuaian fungsi dapat dilakukan melalui revisi peraturan pelaksana untuk mengoptimalkan peran KBUMN sebagai regulator dan pengawas kebijakan makro BUMN.
  • Jika KBUMN dinilai tidak relevan, pemerintah harus menyusun roadmap legislasi untuk merevisi atau mencabut ketentuan dalam UU 19/2003 jo. UU 1/2025.
  • Penguatan tata kelola dan akuntabilitas harus dijaga dalam setiap perubahan struktur kelembagaan.
  1. Roadmap Legislasi Pembubaran KBUMN
  • Penyusunan naskah akademik dan RUU perubahan atau pencabutan ketentuan mengenai KBUMN dalam UU 19/2003 jo. UU 1/2025.
  • Pengajuan RUU ke DPR RI untuk masuk dalam Prolegnas dan dibahas bersama sesuai mekanisme UU 12/2011.
  • Pembahasan dan persetujuan DPR RI, termasuk pengaturan transisi pengalihan tugas, fungsi, dan kewenangan KBUMN.
  • Penetapan dan pengundangan RUU menjadi undang-undang.
  • Penyesuaian atau pencabutan seluruh peraturan pelaksana yang merujuk pada KBUMN, seperti Perpres 81/2019.
  • Pengaturan transisi dan pengalihan kewenangan secara tegas dalam undang-undang perubahan.

7. Perangkat Hukum dan Roadmap Legislasi Penggabungan KBUMN ke Danantara

  • Penggabungan KBUMN ke Danantara memerlukan:
  • Roadmap legislasi:
    1. Penyusunan naskah akademik dan RUU perubahan.
    2. Pengajuan RUU ke DPR RI.
    3. Pembahasan dan persetujuan DPR RI.
    4. Penetapan dan pengundangan.
    5. Penyesuaian peraturan pelaksana.
    6. Pengaturan transisi dan pengalihan kewenangan.

8. Langkah Hukum Jika KBUMN Diubah Menjadi Badan

  • Perubahan status KBUMN menjadi badan non-kementerian memerlukan:
    • Revisi atau pencabutan ketentuan mengenai KBUMN dalam UU 19/2003 jo. UU 1/2025.
    • Penyesuaian Perpres 81/2019dan seluruh peraturan pelaksana terkait KBUMN.
    • Penyusunan dan pengesahan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang mengatur organisasi, tata kelola, tugas, fungsi, dan kewenangan badan baru.
    • Roadmap legislasi: penyusunan naskah akademik dan RUU, pengajuan ke DPR RI, pembahasan dan persetujuan, penetapan dan pengundangan, penyesuaian peraturan pelaksana, serta pengaturan transisi dan pengalihan kewenangan.

KESIMPULAN

Dari roadmap hukum di atas wacana penggabungan, pembubabaran maupun pembentukan badan baru  hanya dapat dilakukan melalui revisi undang-undang dan penyesuaian seluruh perangkat hukum terkait. Pemerintah disarankan melakukan evaluasi komprehensif, menyiapkan roadmap legislasi, dan memastikan transisi kelembagaan yang sah, tertib, dan akuntabel sesuai peraturan perundang-undangan.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Rezim Kepailitan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Akibat Hukumnya, dan Implikasi Kepailitan terhadap Negara

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Memorandum ini membahas rezim kepailitan yang berlaku bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, jenis-jenis BUMN, akibat hukum apabila BUMN diputus pailit, serta kemungkinan negara dinyatakan pailit apabila melakukan perikatan perdata. Analisis dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan yurisprudensi yang relevan, dengan penekanan pada perbedaan perlakuan hukum antara BUMN berbentuk Persero dan Perum, serta batasan hukum terhadap kepailitan negara sebagai subjek hukum.

PEMBAHASAN

  1. Jenis BUMN, Rezim Kepailitan, dan Akibat Hukum BUMN Pailit
  • Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN terdiri atas dua bentuk utama:
    • Persero: Berbentuk perseroan terbatas (PT), bertujuan memperoleh keuntungan, dengan minimal 51% saham dimiliki negara.
    • Perum: Seluruh modal dimiliki negara, tidak terbagi atas saham, bertujuan menyediakan barang/jasa untuk kemanfaatan umum.
  • Rezim kepailitan BUMN diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU):
    • Untuk Perum, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU).
    • Untuk Persero (PT), permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditur atau debitur sendiri, dengan syarat terdapat dua atau lebih kreditur dan utang yang telah jatuh tempo serta dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU).
  • Akibat hukum BUMN pailit:
    • Seluruh harta kekayaan BUMN menjadi boedel pailit dan dikelola kurator di bawah pengawasan hakim pengawas (Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU).
    • Debitur (BUMN) kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya sejak putusan pailit diucapkan.
    • Kreditur hanya dapat menagih piutang melalui mekanisme pencocokan piutang oleh kurator (Pasal 1131 KUHPerdata, Pasal 16 UU KPKPU).
    • Untuk Perum, Menteri tidak bertanggung jawab atas kerugian melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan, kecuali terdapat perbuatan melawan hukum tertentu.
    • Untuk Persero, jika kepailitan terjadi karena kesalahan/kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup, direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kewajiban yang tidak terlunasi, kecuali dapat membuktikan tidak bersalah (Pasal 104 PP 83/2015, Pasal 100 PP 38/2018).
  • Dengan demikian, rezim kepailitan BUMN sangat bergantung pada bentuk hukumnya, dan akibat hukum kepailitan mengikuti ketentuan umum dengan kekhususan tertentu.
  1. BUMN yang Telah Diputus Pailit
  • Salah satu BUMN yang telah diputus pailit oleh pengadilan niaga adalah PT Istaka Karya (Persero).
    • Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 124/Pdt.Sus/2011, PT Istaka Karya (Persero) dinyatakan pailit karena tidak termasuk BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU.
    • Permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditur apabila syarat kepailitan terpenuhi, yaitu terdapat dua kreditur atau lebih dan utang yang sudah jatuh tempo (Sumber).
  • Selain PT Istaka Karya (Persero), terdapat BUMN lain yang pernah diajukan permohonan pailit, namun tidak seluruhnya dikabulkan pengadilan.
    • Penetapan pailit terhadap BUMN tetap tunduk pada Pasal 2 ayat (1) dan (5) UU KPKPU.
    • Untuk Persero (PT), permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditur maupun debitur.
    • Untuk Perum yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
  • PT Istaka Karya (Persero) menjadi contoh konkret BUMN yang telah diputus pailit di Indonesia.
  1. Kemungkinan Negara Dinyatakan Pailit Jika Melakukan Perikatan Perdata
  • Negara tidak dapat dinyatakan pailit meskipun pemerintah melakukan perikatan perdata.
    • Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negaradan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, diatur mekanisme pembayaran tagihan pihak ketiga oleh negara, namun tidak diatur tata cara kepailitan negara.
    • Mahkamah Konstitusi menegaskan Pasal 50 UU 1/2004 tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga negara tidak dapat dinyatakan pailit dan tidak dapat dikenakan sita umum atas asetnya (Sumber).
    • Rezim kepailitan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU KPKPU, tidak mengatur mekanisme kepailitan terhadap negara sebagai subjek hukum, melainkan hanya terhadap badan usaha, termasuk BUMN, dengan syarat dan tata cara tertentu.
    • Dengan demikian, meskipun pemerintah melakukan perikatan perdata dan memiliki kewajiban pembayaran, negara tidak dapat dinyatakan pailit dan tidak dapat dikenakan sita umum atas asetnya sebagaimana mekanisme kepailitan pada subjek hukum lain.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa rezim kepailitan BUMN sangat dipengaruhi oleh bentuk hukumnya, dengan Persero dan Perum tunduk pada ketentuan dan tata cara yang berbeda. Akibat hukum kepailitan BUMN mengikuti ketentuan umum dengan kekhususan tertentu, khususnya terkait tanggung jawab direksi dan mekanisme permohonan pailit. Negara sebagai subjek hukum tidak dapat dinyatakan pailit meskipun melakukan perikatan perdata. Direkomendasikan agar setiap tindakan hukum terkait kepailitan BUMN memperhatikan bentuk hukum BUMN dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Menelisik Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk dan Aturan Penggunaan Strobo, Sirine dan Rotator

Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Memorandum ini membahas ketentuan hukum terkait penggunaan strobo, sirene, dan rotator pada kendaraan bermotor di Indonesia, termasuk larangan pemasangan pada kendaraan pribadi, prosedur perizinan, serta penggunaan jasa pengawalan (patwal) yang dilengkapi perangkat tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan penekanan pada pembatasan hak penggunaan, sanksi pidana atas pelanggaran, serta tata cara pengawalan oleh petugas berwenang. Tujuan memorandum ini adalah memberikan pemahaman normatif dan rekomendasi hukum yang sesuai dengan kerangka hukum nasional.

PEMBAHASAN

  1. Ketentuan Hukum Penggunaan Strobo, Sirene, dan Rotator pada Kendaraan Bermotor
  • Penggunaan strobo, sirene, dan rotator diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalandan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012.
  • Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009:
    • Hanya kendaraan bermotor untuk kepentingan tertentu yang dapat dilengkapi lampu isyarat (strobo/rotator) dan/atau sirene.
    • Lampu isyarat terdiri atas warna merah, biru, dan kuning, dengan fungsi dan peruntukan berbeda.
  • Pasal 59 ayat (5) mengatur:
    • Lampu biru dan sirene: hanya untuk kendaraan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    • Lampu merah dan sirene: untuk kendaraan tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.
    • Lampu kuning tanpa sirene: untuk kendaraan patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas, perawatan fasilitas umum, kendaraan derek, dan angkutan barang khusus.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012memperjelas jenis dan persyaratan teknis lampu isyarat, termasuk jarak pandang minimal 200 meter dan batasan lebar kabin.
  • Penjelasan Pasal 44 PP No. 55 Tahun 2012 menegaskan kendaraan yang berhak meliputi pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan pertolongan kecelakaan, pimpinan lembaga negara, pengangkut jenazah, petugas kepolisian, pengawalan TNI, penanganan bencana alam, dan pengawasan jalan tol.
  • Penggunaan sembarangan atau pada kendaraan pribadi merupakan pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (Pasal 287 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009).
  • Tata cara pemasangan dan penggunaan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 59 ayat (6) dan (7) UU No. 22 Tahun 2009).
  1. Prosedur dan Tata Cara Perizinan Penggunaan Strobo, Sirene, dan Rotator untuk Kendaraan Pribadi
  • Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) dan (5) UU No. 22 Tahun 2009, lampu isyarat dan sirene hanya dapat dipasang pada kendaraan bermotor untuk kepentingan tertentu, bukan kendaraan pribadi.
  • Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menegaskan “kepentingan tertentu” adalah kendaraan yang karena sifat dan fungsinya diberi lampu isyarat sebagai tanda memiliki hak utama atau memerlukan perhatian khusus dari pengguna jalan untuk keselamatan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012memperjelas bahwa hanya kendaraan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 44 yang berhak menggunakan perangkat tersebut.
  • Tata cara pemasangan dan penggunaan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun tetap mengacu pada pembatasan jenis kendaraan yang berhak.
  • Penggunaan strobo, sirene, dan rotator pada kendaraan pribadi tanpa hak merupakan pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 287 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009.
  • Dengan demikian, tidak terdapat prosedur atau tata cara perizinan untuk penggunaan strobo, sirene, dan rotator pada kendaraan pribadi karena secara hukum hal tersebut dilarang.
  1. Penggunaan Jasa Patwal yang Dilengkapi Strobo, Sirene, dan Rotator untuk Kendaraan Pribadi
  • Penggunaan jasa patwal (patroli dan pengawalan) yang dilengkapi strobo, sirene, dan rotator untuk mengawal kendaraan pribadi diperbolehkan dengan ketentuan tertentu.
  • Berdasarkan Pasal 134 dan 135 UU No. 22 Tahun 2009, kendaraan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan di jalan harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru serta bunyi sirene.
  • Hak utama diberikan kepada kendaraan yang memenuhi kriteria Pasal 134, seperti pemadam kebakaran, ambulans, pertolongan kecelakaan, pimpinan lembaga negara, iring-iringan jenazah, dan konvoi tertentu atas pertimbangan petugas kepolisian.
  • Pengawalan oleh Polri bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara keamanan lalu lintas. Kendaraan yang dikawal polisi dapat memperoleh prioritas di jalan sesuai ketentuan, namun kendaraan pribadi yang dikawal tidak otomatis memperoleh hak utama kecuali memenuhi kriteria.
  • Penggunaan strobo, sirene, dan rotator hanya boleh dilakukan oleh kendaraan patwal resmi milik Polri atau kendaraan lain yang secara hukum berhak, bukan oleh kendaraan pribadi.
  • Kendaraan pribadi yang menggunakan jasa pengawalan patwal tidak boleh memasang atau mengoperasikan sendiri strobo, sirene, atau rotator, karena hal ini merupakan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 287 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009.
  • Tata cara pengaturan lalu lintas dalam keadaan tertentu, termasuk pengawalan, diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2012, yang menegaskan bahwa tindakan pengaturan lalu lintas oleh petugas, termasuk penggunaan isyarat bunyi dan cahaya, hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang.
  • Dengan demikian, kendaraan pribadi boleh menggunakan jasa pengawalan patwal yang dilengkapi strobo, sirene, dan rotator, asalkan perangkat tersebut hanya dioperasikan oleh petugas patwal yang berwenang, bukan oleh pemilik atau pengemudi kendaraan pribadi.

4. Gejolak Sosial Stop Tot Tot Wuk Wuk

        Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” adalah fenomena menarik yang menunjukkan kekuatan kontrol sosial dari masyarakat. Secara umum, gerakan ini adalah bentuk protes publik terhadap penyalahgunaan strobo, rotator, dan sirine oleh pihak yang tidak berhak, terutama oleh kendaraan pribadi atau konvoi pejabat yang tidak dalam kondisi darurat.
Berikut adalah beberapa hal penting mengenai gerakan ini:
1. Reaksi dan Kontrol Sosial
Istilah “tot tot wuk wuk” yang mengimitasi bunyi sirene dengan nada satir, menunjukkan rasa frustrasi dan ketidakpuasan publik. Melalui stiker, meme, dan unggahan di media sosial, masyarakat menciptakan narasi bahwa penggunaan alat-alat tersebut oleh non-prioritas adalah bentuk arogansi dan ketidakadilan. Mereka seolah mengirim pesan tegas: “Kalian yang berhak menggunakan fasilitas negara ini dibiayai dari pajak kami. Jadi, janganlah bersikap semena-mena.”
2. Efektivitas Gerakan
Meskipun bukan gerakan yang terorganisir secara formal, dampak “Stop Tot Tot Wuk Wuk” ini cukup signifikan. Gerakan ini berhasil mendorong respons dari berbagai pihak berwenang, mulai dari Korlantas Polri hingga Panglima TNI. Bahkan, beberapa pejabat tinggi telah merespons dan mengevaluasi penggunaan pengawalan dengan sirene. Ini menunjukkan bahwa suara publik, terutama yang disebarkan melalui media sosial, memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan dan perilaku di tingkat tertinggi.
3. Tuntutan akan Keadilan
Inti dari gerakan ini bukan hanya tentang menolak suara bising, tetapi juga tentang menuntut keadilan di jalan raya. Masyarakat merasa bahwa jalan adalah ruang publik yang harusnya memiliki hak yang sama bagi semua pengguna. Ketika ada pihak yang mendapatkan hak istimewa tanpa dasar yang jelas, hal itu dianggap melukai rasa keadilan. Gerakan ini menekankan bahwa prioritas di jalan seharusnya hanya diberikan untuk keadaan yang benar-benar darurat, seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan penanganan kecelakaan, bukan untuk sekadar memangkas waktu tempuh.
Secara keseluruhan, gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” adalah cerminan dari kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap hak-hak mereka di ruang publik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif dan berani menyuarakan keresahannya, mendorong penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dan konsisten dalam menegakkan aturan yang sudah ada.

KESIMPULAN

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, penggunaan strobo, sirene, dan rotator hanya diperbolehkan pada kendaraan tertentu yang memiliki hak utama atau kepentingan khusus. Tidak terdapat prosedur perizinan bagi kendaraan pribadi untuk menggunakan perangkat tersebut. Kendaraan pribadi dapat menggunakan jasa pengawalan patwal resmi, namun perangkat strobo, sirene, dan rotator hanya boleh dioperasikan oleh petugas yang berwenang. Disarankan untuk mematuhi seluruh ketentuan hukum guna menghindari sanksi pidana.

LAMPIRAN DASAR HUKUM