PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE DALAM MODAL SAHAM PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT PERTAMINA

Reported by Akbar Perdana:

Pada tanggal 28 Februari 2018 Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (“PP 6/2018”).

Tujuan PP 6/2018 adalah untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina  dengan melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina yang berasal dari pengalihan seluruh saham Seri B milik Negara Republik Indonesia pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Gas Negara Tbk.

Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal negara sebanyak 13.809.038.755 (tiga belas miliar delapan ratus sembilan juta tiga puluh delapan ribu tujuh ratus limapuluh lima) saham Seri B pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang telah ditempatkan dan disetor penuh oleh Negara. Dengan pengalihan saham Seri B, negara melakukan kontrol terhadap Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Gas Negara Tbk melalui kepemilikan saham Seri A dwi warna dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar.

Penambahan penyertaan modal negara tersebut mengakibatkan Status Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Gas Negara Tbk berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina menjadi Pemegang Saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk.

PP 6/2018 mulai berlaku pada tanggal 28 Februari 2018 dan mengakibatkan  Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Gas Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 66) tidak berlaku lagi.

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAN GAS BUMI PADA KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI (“PERMEN ESDM 4/2018”)

Reported by Andri Frandoni:

Permen ESDM 4/2018 mulai berlaku terhitung sejak tanggal 25 Januari 2018. Dengan diterbitkannya https://pinkjoker-canada.com/, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Permen ESDM 4/2018 diharapkan untuk lebih mendorong infrastruktur pembangunan infrastruktur gas bumi melalui pipa dan guna meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan di dalam negeri serta mengakomodasi perkembangan moda penyaluran gas bumi selain melalui pipa pada kegiatan usaha gas bumi. Dengan berlakunya Permen ESDM 4/2018 tumpang tindih infrastruktur gas bumi yang selama ini terjadi baik antara pipa transmisi dan/atau distribusi dengan pipa dedicated hilir khususnya untuk niaga gas bumi tidak terjadi lagi.

MAHKAMAH KONSTITUSI IZINKAN PERNIKAHAN DALAM SATU PERUSAHAAN

Kasus Posisi:

  • Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan menyatakan:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

     undangan yang berlaku;

3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

4. Pekerja/buruh menikah;

5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah 

     diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat

    buruh di luar jam kerja, atau  di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

    perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

10.Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

     yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

  • Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

               Setiap   orang   berhak   membentuk   keluarga   dan   melanjutkan   keturunan   melalui perkawinan yang sah.

  • Pasal 28D   ayat   (1)   UUD   1945   menyatakan:

              Setiap  orang  berhak  atas  pengakuan,  jaminan,  perlindungan,  dan  kepastian  hukum yang  adil  serta  perlakuan  yang sama dihadapan hukum.

  • Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

             Setiap  orang  berhak  untuk  bekerja  serta  mendapat  imbalan  dan  perlakuan  yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

  • Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, pada tanggal 30 Januari 2017 Ir. H. Jhoni Boetja, S.E.; Edy Supriyanto Saputro, Amd; Ir. Airtas Asnawi; Saiful; Amidi Susanto; Taufan, S.E.; Muhammad Yunus dan Yekti Kurniasih, Amd (“Para Pemohon”) mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

 

  • Petitum Para Pemohon adalah sebagai berikut:
  1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
  2. Menyatakan: Membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan  yang  berbunyi  “kecuali  telah diatur  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan perusahaan,  atau  perjanjian  kerja  bersama”  adalah  bertentangan  dengan  UUD  1945  dan  menyatakan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi;
  3. Memerintahkan pemuatan  putusan  ini  di dalam  lembaran  Berita  Negara  Republik Indonesia.

Mahkamah Konstitusi:

  • Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
  1. Perusahaan yang  mempersyaratkan  pekerja/buruh  tidak  boleh  mempunyai  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan  dengan  pekerja/buruh  lainnya  di  dalam  satu  perusahaan  dan  menjadikan  hal  itu  sebagai  dasar  dapat  dilakukannya  pemutusan  hubungan  kerja  terhadap  pekerja/buruh  yang  bersangkutan,  tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia, Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,  Sosial,  dan  Budaya)  yang  telah  diratifikasi  oleh  Undang-Undang  Nomor 11  Tahun  2005,  dan  Pasal  23  ayat  (1)  Deklarasi  HAM  Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia,  dalam  hal  ini  hak  atas  pekerjaan  serta  hak  untuk  membentuk  keluarga,  adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai dengan  Pasal  28J  ayat  (2)  UUD  1945  pembatasan  terhadap  hak  asasi  manusia  hanya  dapat  dilakukan  dengan  maksud  semata-mata  untuk  menjamin  pengakuan  serta  penghormatan  atas  hak  dan  kebebasan  orang  lain  dan  untuk  memenuhi  tuntutan   yang   adil   sesuai dengan   pertimbangan   moral, nilai-nilai   agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
  2. Adanya frase  “kecuali  telah  diatur  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahan,  atau  perjanjian  kerja  bersama”  dalam  Pasal  153  ayat  (1)  huruf  f  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan,  dapat menimbulkan  potensi  besar  bahwa  pengusaha akan  melarang  perkawinan  sesama  pekerja  dalam  satu  perusahaan  yang  sama sehingga dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja, yang hal itu  bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
  3. Pembatasan sebagaimana  termuat  dalam Pasal  153  ayat  (1)  huruf  f  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena  tidak  ada  hak  atau  kebebasan  orang  lain  yang  terganggu  oleh  adanya  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan    Demikian  pula  tidak  ada  norma-norma  moral,  nilai-nilai  agama, keamanan,  dan  ketertiban  umum  dalam  suatu   masyarakat   demokratis   yang   terganggu   oleh   adanya   fakta   bahwa   pekerja/buruh  dalam  satu  perusahaan  memiliki  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan.
  • Mahkamah Konstitusi memberi putusan sebagai berikut:

Mengadili,

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan frasa  “kecuali  telah  diatur  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahaan,  atau  perjanjian  kerja  bersama”  dalam  Pasal  153  ayat  (1)  huruf  f   Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan  (Lembaran   Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2003  Nomor  39,  Tambahan  Lembaran Negara Republik   Indonesia   Nomor 4279)   bertentangan   dengan   Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  dan  tidak  mempunyai  kekuatan hukum mengikat;
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Catatan:

Abstrak hukum yang dapat diangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pembatasan sebagaimana  termuat  dalam Pasal  153  ayat  (1)  huruf  f  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan  tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena  tidak  ada  hak  atau  kebebasan  orang  lain  yang  terganggu  oleh  adanya  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan  Demikian  pula  tidak  ada norma-norma  moral,  nilai-nilai  agama, keamanan,  dan  ketertiban  umum  dalam suatu   masyarakat   demokratis   yang   terganggu   oleh   adanya   fakta   bahwa   pekerja/buruh  dalam  satu  perusahaan  memiliki  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan.
  • Kekhawatiran akan  terjadinya  hal-hal  negatif di  lingkungan  perusahaan  dan  potensi  timbulnya  konflik  kepentingan  (conflict  of  interest)  dalam  mengambil suatu  keputusan  dalam  internal  perusahaan,  hal  tersebut  dapat  dicegah  dengan  merumuskan    peraturan    perusahaan    yang ketat    sehingga    memungkinkan terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
  • Doktrin pacta sunt  servanda  pada  Pasal  1338 KUHPerdata  yang  menyatakan “semua  persetujuan  yang  dibuat  sesuai dengan  undang-undang  berlaku  sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan   kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang  ditentukan  oleh  undang-undang.  Persetujuan  harus  dilaksanakan  dengan itikad baik”, tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa  memperhatikan  keseimbangan  kedudukan  para  pihak  yang membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah terang  kiranya  bahwa  antara pengusaha  dan  pekerja/buruh  berada  dalam  posisi yang tidak seimbang. Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang  lebih  lemah  karena  sebagai  pihak yang  membutuhkan  pekerjaan.  Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka dalam hal ini filosofi kebebasan berkontrak  yang  merupakan  salah  satu  syarat  sahnya  perjanjian  menjadi  tidak sepenuhnya  terpenuhi.
  • Setiap pengusaha/perusahaan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja atas dasar pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, walaupun dalam perjanjian kerja/perjanjian kerja bersama memuat ketentuan yang mensyaratkan sebaliknya.

Akbar Perdana

=========================

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Desember 2017.

 

 

PENETAPAN BATAS WAKTU PENGGUNAAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN UNTUK MENJAMIN PELUNASAN KREDIT TERTENTU SEBAGAI PENGGANTI DARI PERKABAN NOMOR 4 TAHUN 1996, YANG INTINYA ADALAH MEMBAHAS TENTANG JANGKA WAKTU BERLAKUNYA SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (“SKMHT”)

Reported by Fabian Falisha:

Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Perkaban”) No 22 Tahun 2017 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit Tertentu Sebagai Pengganti Dari Perkaban Nomor 4 Tahun 1996, yang intinya adalah membahas tentang Jangka Waktu Berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) sebagai berikut:

  1. SKMHT berlaku sampai dengan berakhirnya Perjanjian Pokok:
  • Kredit/Pembiayaan/Pinjaman untuk nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil (usaha produktif milik perserorangan dan/atau badan usaha perorangan);
  • Kredit/Pembiayaan/Pinjaman untuk pengadaan rumah (kepemilikan atau perbaikan) dengan luas tanah maks 200 m² dan luas bangunan maks 70 m²;
  • Kepemilikan atau perbaikan Kapling Siap Bangun dengan luas tanah 54 – 72 m² dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya;
  • Kredit/Pembiayaan/Pinjaman produktif dengan plafon sampai dengan Rp200 juta;

2. SKMHT berlaku sampai 3 (tiga) bulan, terhadap hak atas tanah yang sertifikatnya dalam pengurusan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Kredit/Pembiayaan/Pinjaman produktif untuk usaha mikro/usaha kecil dengan plafon kredit 50 – 250 juta;
  • Kredit/Pembiayaan/Pinjaman pengadaan RUKO oleh Usaha Mikro/Usaha Kecil dengan paling luas sebesar 200 m² dan luas bangunan paling luas sebesar 70 m² dengan plafon tidak melebihi Rp250 juta yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit/pembiayaan/pinjaman tersebut

Perkaban No 22 Tahun 2017 ini diterbitkan guna menghindari habisnya jangka waktu SKMHT yang berakibat akan tidak adanya tanggungan/jaminan atas pelaksanaan Kredit/Pembiayaan/Pinjaman dan sangat berpotensi besar terjadinya permasalahan antar Nasabah dan Bank khususnya dari sisi Perbankan.

SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Bunga Steviane

Bila Anda adalah seorang Warga negara Asing yang sudah selama 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut tinggal di Indonesia serta berkeinginan menjadi Warga Negara Indonesia, maka Anda dapat mengajukan Pewargenagaraan Indonesia kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM sesuai ketentuan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 (“UU No. 12 Tahun 2006”) Jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (“PP No. 2 Tahun 2007”) Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“PP No. 45 Tahun 2016”) Jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: 36 tahun 2016 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia (“PERMEN No. 36 Tahun 2016”).

1.     Persyaratan memperoleh kewarganegaraan Indonesia

A.     Pasal 9 UU No. 12 Tahun 20016 menyebutkan:

“Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.     Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b.     Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia  paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

c.     Sehat jasmani dan rohani;

d.     Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945;

e.     Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

f.      Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

g.     Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h.     Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara”.

B.     Pasal 9 PP No. 2 Tahun 2007 jo. Pasal 2 ayat 3 PERMEN No. 36 Tahun 2016 antara lain menyebutkan:

“Orang Asing yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 20016 dapat mengajukan permohonan Pewarganegeraan kepada Presiden melalui Menteri;

C.    Pasal 4 PERMEN No. 36 Tahun 2016 menyebutkan:

“Permohonan pernyataan untuk menjadi warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan secara elektronik melalui laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas,maka diketahui bahwa Orang Asing yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 20016 dapat mengajukan permohonan Pewarganegeraan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM dan dilakukan secara secara elektronik melalui laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

2.     Tata Cara serta waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan pewarganegaraan.

A.     Pasal  5 PERMEN No. 36 Tahun 2016 menyebutkan:

(1)    Dalam mengajukan permohonan pernyataan untuk menjadi warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemohon harus mengunggah dokumen sebagai berikut:

a.     fotokopi akta kelahiran Pemohon yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi tersumpah dan telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;

b.     fotokopi kartu tanda penduduk atau surat keterangan tempat tinggal Pemohon yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang:

c.     fotokopi akta kelahiran suami atau isteri Pemohon yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;

d.     fotokopi kartu tanda penduduk suami atau isteri Pemohon yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;

e.     fotokopi akta perkawinan/buku nikah Pemohon dari suami atau isteri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi tersumpah dan dilegalisasi oleh pejabat berwenang;

f.      asli surat keterangan dari kantor imigrasi di tempat tinggal Pemohon yang menerangkan bahwa Pemohon telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

g.     asli surat keterangan catatan kepolisian yang dikeluarkan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih berlaku;

h.     asli surat keterangan dari perwakilan negara Pemohon yang menerangkan jika Pemohon memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia maka yang bersangkutan kehilangan kewarganegaraannya;

i.       asli surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari rumah sakit pemerintah;

j.       pas foto Pemohon terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 6 (enam) lembar dengan latar belakang warna merah, berpakaian rapi dan sopan; dan

k.     asli bukti pembayaran permohonan pernyataan untuk menjadi warga negara Indonesia.

(2)    Dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan secara elektronik diterima.

B.     Pasal 6 ayat 3 PERMEN No. 36 Tahun 2016 menyebutkan:

“Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak dokumen fisik diterima”.

C.    Pasal 7 PERMEN No. 36 Tahun 2016 menyebutkan:

(1)    Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terdapat kekurangan kelengkapan dokumen fisik, Menteri memberitahukan secara elektronik kepada Pemohon untuk dilengkapi.

(2)    Kekurangan kelengkapan dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan.

(3)    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemohon tidak melengkapi dokumen fisik, permohonan ditolak.

(4)    Penolakan sebagaimana dimaksud ayat (3) disampaikan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum kepada Pemohon secara elektronik.

D.    Pasal 8 PERMEN No. 36 Tahun 2016

“Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Pemohon dapat mengajukan permohonan kembali berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5”.

E.     Pasal 9 PERMEN No. 35 Tahun 2016

(1)    Dalam hal hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan mengenai memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

(2)    Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.

(3)    Menteri menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada perwakilan negara asal Pemohon.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, diketahui bahwa Orang Asing yang hendak mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia maka wajib melengkapi dokumen kelengkapan sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 PERMEN No. 36 Tahun 2016 serta diunggah secara secara elektronik melalui laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Selanjutnya, dokumen kelengkapan fisik tersebut wajib disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan secara elektronik diterima.

Setelah dokumen kelengkapan fisik diterima oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, prosedur selanjutnya adalah pemeriksaan dokumen fisik yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak dokumen fisik diterima. Dalam hal hasil pemeriksaan tersebut terdapat kekurangan kelengkapan dokumen fisik, Menteri memberitahukan secara elektronik kepada Pemohon untuk melengkapi kekurangan dokumen dan pemohonan memiliki waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemerbitahuan dan apabila pemohon melewakti jangka waktu yang ditetapkan maka permohonan akan ditolak.

Dalam hal hasil pemeriksaan dokumen dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan mengenai memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.

3.     Biaya resmi pengurusan perpindangan pewarganegaraan

1.     Pasal 12 ayat 1 UU  No. 12 Tahun 2006 menyebutkan:

“Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya”

2.     Butir H ayat 1 Kewarganegaraan Lampiran PP No. 45 Tahun 2016 menyebutkan:

“Pewarganegaraan/Naturalisasi berdasarkan Permohonan Warga Negara Asing per permohonan adalah sebesar Rp. 50.000.000,- lima puluh juta Rupiah.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, diketahui bawa biaya resmi permohonan pewarganegaraan adalah sebesar Rp. 50.000.000,- lima puluh juta Rupiah.

Selamat mencoba.

 

 

Dilema Penegakan Hak Atas Cross Rezim Hak Cipta dan Desain Industri

Kenny Wiston, SH,. LL.M*

Paradigma Pemberian Hak berbeda dengan Paradigma Penegakan Hak. Unsur Perbedaan akan dicari sebanyak-banyaknya di dalam Pemberian Hak sedangkan unsur Persamaan akan dicari sebanyak-banyaknya di dalam Penegakan Hak. Paradigma Pemberian Hak tidak serta merta dapat meniadakan tidak adanya pelanggaran hak.

Tidak heran apabila para penyidik Polri bingung pada saat menangani pemeriksaan seorang tersangka atas pelanggaran hak cipta dimana si tersangka ternyata memiliki sertifikat Desain Industri yang sama dengan ciptaan yang dipersangkakan terhadapnya. Hal demikian mengakibatkan mandeknya proses penyidikan terhadap pelanggaran hak cipta dengan dalih si tersangka juga memiliki alas hak yang nota bene sama dengan hak cipta milik orang lain yang dipersangkakan terhadap dirinya.

Mengapa sampai terjadi demikian? Bukankah Hak Cipta dan Desain Industri merupakan dua rezim yang berbeda? Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita simak bersama berikut ini.

Perlindungan Hak Cipta dan Desain Industri

Perlindungan Hak Cipta diberikan untuk karya seni, sastra, ilmu pengetahuan dan hak-hak terkait sedangkan perlindungan Desain Industri diberikan untuk suatu bentuk (tiga dimensi), konfigurasi (tiga dimensi), komposisi (dua dimensi; garis, warna, garis dan warna), gabungan tiga dimensi dan dua dimensi (bentuk dan konfigurasi; konfigurasi dan komposisi; bentuk dan komposisi; bentuk, konfigurasi dan komposisi).

Perlindungan Hak Cipta bersifat otomatis saat ekspresi nyata terwujud dan tanpa pendaftaran (deklaratif). Sedangkan perlindungan Desain Industri diberikan berdasarkan pendaftaran terhadap desain yang baru (konstitutif). Karya cipta merupakan sebuah karya master piece dan tidak diproduksi secara massal sedangkan Desain Industri diproduksi massal.

Perlindungan Hak Desain Industri

Syarat Desain Industri yang mendapatkan perlindungan:

1. Memenuhi persyaratan substansi:

A. Kreasi Desain Industri yang memberikan kesan estetis (Ps.1 UU No. 31/2000). Kreasi bentuk, konfigurasi, komposisi garis dan warna atau kombinasinya yang memberikan kesan estetis. Kreasinya bukan semata-mata fungsi atau teknis ( Ps. 25 (1) perjanjian TRIPs);

B. Kreasi Desain Industri yang dapat dilihat dengan kasat mata. Lazimnya suatu kreasi Desain Industri harus dapat dilihat jelas dengan kasat mata (tanpa menggunakan alat bantu), dimana pola dan bentuknya jelas. Jadi kesan indah/estetisnya ditentukan melalui penglihatan bukan rasa, penciuman dan suara;

C. Kreasi Desain Industri yang dapat diterapkan pada produk industri & kerajinan tangan (Ps.1 UU no. 31/2000). Dapat diproduksi secara massal melalui mesin maupun tangan. Jika diproduksi ulang memberikan hasil yang konsisten;

D. Kreasi Desain Industri yang baru (Ps.2 (1) UU No. 31/2000). Tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas (bila dg hak prioritas) dan telah diumumkan/digunakan baik di Indonesia atau di luar Indonesia (Ps. 2 (2) & Ps. 2 (3) UU No.31/2000). Baru dinilai dari sudut kreasi dan/atau produknya. Nilai kemiripan, nilai kreatifitas, dan nilai karakter individu suatu desain industri tidak diatur dalam UU No.31/2000). Nilai baru/kebaruan maknanya nilai tidak identik atau berbeda atau tidak sama atau tidak identik dengan “pengungkapan” yang telah ada sebelumnya;

E. Kreasi Desain Industri yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama atau kesusilaan (Ps.4 UU no. 31/2000).

2. Memenuhi persyaratan administrasi/ formalitas
(Ps. 11, 13, 14, 15, 16, 17 & Ps.19 (1) UU no.31/2000)

3. Tidak ditarik kembali permohonannya (karena memenuhi persyaratan permohonan – Ps. 20 (1) & Pemohon tidak menarik permohonannya – Ps.21 UU No.31/2000)

Agar permohonan pendaftaran desain industri anda dapat diberikan (granted) pastikan persyaratan di atas terpenuhi. Untuk mendapatkan nilai baru atau kebaruan cari perbedaan sebanyak-banyaknya terhadap desain yang telah ada sebelumnya.

Penegakkan Hak Desain Industri

Pembatalan

Pembatalan pendaftaran Desain Industri dapat dilakukan karena:
a. permintaan pemegang hak Desain Industri;
b. berdasarkan gugatan pembatalan.

Pembatalan pendaftaran Desain Industri atas kehendak pemegang hak yang ditujukan ke Ditjen HKI harus melampirkan persetujuan tertulis dari penerima lisensi.

Gugatan pendaftaran Desain Industri oleh pihak ketiga harus diajukan ke Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat atau apabila pemegang hak berdomisili di luar wilayah Indonesia gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Adapun yang menjadi objek pembatalan pendaftaran berdasarkan gugatan adalah karena:
a. permohonan Desain Industri yang diberikan dianggap tidak baru (bertentangan dengan Pasal 2). Harus disimak apakah barang atau produk, bentuk, konfigurasi, komposisi garis dan warna sama atau tidak sama dengan desain pembanding yang relevan;
b. permohonan Desain Industri yang diberikan dianggap bertentangan dengan UU yang berlaku, ketertiban umum, agama dan kesusilaan (Pasal 4).

Pelanggaran Hak Desain Industri

Dalam hal terjadi pelanggaran hak, perlu difikirkan dan disiapkan strategi yang matang sebelum melakukan upaya hukum (gugatan pembatalan, gugatan ganti rugi dan tuntutan pidana).

Gugatan Pembatalan karena Desain Industri pihak lain terdaftar bukanlah satu-satunya pilihan terbaik bagi kita yang tidak memiliki sertifikat Desain Industri. Misalnya, perusahaan pulpen A dari Eropa yang sudah terkenal memperoleh perlindungan Desain Industri untuk 52 negara sementara di Indonesia permohonan Desain Industri nya ditolak karena perusahaan B (lokal) telah terlebih dahulu memperoleh sertifikat pendaftaran Desain Industri untuk desain yang sama atau identik dengan desain milik perusahaan A. Apabila diajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan dasar Desain Industri tersebut tidak baru maka chance untuk dibatalkan desain tersebut sangat besar. Apabila perusahaan A berhasil membatalkan desain pulpen milik perusahaan B tersebut maka desain tersebut menjadi milik umum (public domain). Akibat hukumnya, setiap orang termasuk perusahaan A itu sendiri berhak menggunakan desain pulpen tersebut. Perusahaan A tidak akan bisa memperoleh seritifikat Desain Industri dari Ditjen HKI karena sudah ada pengungkapan sebelumnya (tidak baru) jika hendak mengajukan permohonan pendaftaran desain pulpen tersebut. Apabila sampai terjadi kondisi seperti ini maka perusahaan A akan rugi sendiri. Mengapa? Karena ia akan kalah bersaing dengan produk impor dari Cina yang harganya jauh lebih murah untuk desain yang sama di pasaran Indonesia. Lantas apa solusinya? Alternatif Dispute Resolution (negosiasi, mediasi, konsiliasi) adalah pilihan lebih baik (Pasal 47). Dengan membeli desain milik perusahaan B, market untuk Indonesia masih bisa dimonopoli oleh Perusahaan A dengan hak mengijinkan (memberi lisensi) dan melarang pihak lain untuk menggunakan desain miliknya.

Cross Rezim Penegakkan Hak Desain Industri dan Hak Cipta

Apakah pilihan tersebut di atas merupakan solusi terbaik dalam kasus dimana anda memiliki hak cipta atas suatu motif atau karya seni dimana motif dan karya seni anda ternyata didaftar oleh perusahaan B secara diam-diam sebagai Desain Industri miliknya? Kebetulan permohonan Desain Industri Perusahaan B yang sama dengan hak cipta atas motif anda terdaftar di Ditjen HKI.

Dalam kasus seperti ini banyak pros and cons dikalangan praktisi HKI. Sebagian menyatakan iya dan sebagian tidak. Bagi yang pro mereka menyatakan lebih baik mencari makan bersama ikan hiu dari pada berebut makanan dengan ikan hiu. Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah pilihan lebih baik. Anda tidak perlu pusing dengan proses litigasi dan lebih mengirit biaya dan waktu. Toh, bisa jalan sendiri-sendiri karena masing-masing pihak memiliki alas hak. Sebaliknya, bagi yang con mereka menyatakan mengapa ADR? Kan jelas telah terjadi pelanggaran hak cipta walaupun perusahaan B memiliki sertifikat Desain Industri. Hal ini berbeda dengan contoh kasus di atas (Desain Industri v Desain Industri). Yang jelas ini kasus Hak Cipta v Desain Industri. Anda memiliki hak cipta jauh sebelum perusahaan B memiliki sertifikat Desain Industri. Adanya alas hak tidak berarti tidak adanya pelanggaran.

Apabila hal ini dilaporkan ke polisi untuk diproses pidananya, jangan heran kalau penyidik polisi sendiri bingung. “Dimana unsur pidananya? kan sama-sama memiliki alas hak,” begitulah gumaman seorang penyidik yang memeriksa kasus ini. Lebih jauh lagi, penyidik akan meminta anda untuk mengajukan gugatan pembatalan Desain Industri milik perusahaan B tersebut terlebih dahulu.

Ada benarnya dan tidak benarnya anjuran penyidik tersebut. Apabila anda berhasil membatalkan Desain Industri milik perusahaan B karena tidak baru maka hal ini akan memudahkan pemeriksaan pidana dan pekerjaan penyidik. Namun, upaya anda akan sia-sia apabila setelah pembatalan Desain Industri tersebut ternyata perusahaan B tidak lagi menggunakan desain tersebut. Penyidik akan dengan mudah menyimpulkan tidak ada pelanggaran.

Menurut hemat penulis, dalam kasus cross rezim seperti ini, terlalu dini bagi penyidik untuk menyimpulkan demikian. Ada atau tidak ada pelanggaran baru akan terlihat pada acara pembuktian di pengadilan kelak. Proses pidana tetap harus dijalankan tanpa harus terlebih dahulu menunggu adanya putusan pembatalan Desain Industri. Biarkan para pihak membuktikan siapa yang terlebih dahulu memiliki hak di acara pembuktian nanti dan biarkan pengadilan yang memutuskan ada tidaknya pelanggaran hak cipta dalam kasus cross rezim seperti ini.

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA: Jenis-Jenis Talak Dan Hak Ayah Memperoleh Hak Asuh/Hadhanah

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

Jenis-Jenis Talak Dan Hak Ayah Memperoleh Hak Asuh/Hadhanah

Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun istri meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami istri yang terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan

Randy Ramadhan*

Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang diamanahkan oleh pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1 Tahun 1974”), yang berbunyi: “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami istri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.

Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami istri merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami istri yang gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian. Kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilaksanakan.

Keberadaan institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria maupun oleh wanita. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun istri meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami istri yang terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan.

Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 38 atau dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) pasal 113, perkawinan dapat putus karena adanya hal-hal berikut:

1.   Kematian

Hukum perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang di antara kedua suami istri meninggal dunia, maka telah terjadi perceraian dengan sendirinya. Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.

2.   Perceraian

Ada dua macam perceraian yang menyebabkan bubarnya perkawinan. Yaitu perceraian karena talak (cerai talak) dan perceraian karena gugatan (gugat cerai).

a)  Perceraian Karena Talak (Cerai Talak)

Pertanyaan: Ada berapa jenis talak yang dapat menjadi dasar cerai di pengadilan agama?

Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, cerai talak adalah permohonan yang diajukan oleh seorang suami yang beragama Islam kepada pengadilan guna menceraikan istrinya dengan penyaksian ikrar talak. Sedangkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama dan menjadi sebab putusnya perkawinan.

Jenis-jenis Talak

Menurut Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa jenis talak yang menyebabkan putusnya perkawinan. antara lain:

a.   Talak Raj’i, yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama dalam masa iddah (pasal 118 KHI).

b.   Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang tidak boleh rujuk namun boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI). Talak Ba’in Sughra adalah talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’, dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

c.   Talak Ba’in Kubra, yaitu talak untuk yang ketiga kalinya. Tidak boleh dirujuk dan tidak boleh dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan masa iddah. (pasal 120 KHI).

d.   Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan. Yaitu talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (pasal 121 KHI).

e.   Talak Bid’i adalah talak yang dilarang. Yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri. (pasal 122 KHI).

b)  Perceraian Karena Gugatan (Gugat Cerai)

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 132 ayat (1), gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama setempat kecuali si istri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami.

3.   Putusan Pengadilan

Untuk masalah yang satu ini sebetulnya tidak serumit yang kita bayangkan. Karena pada dasarnya putusan sidang bisa menjadi alasan bubarnya suatu perkawinan apabila dilandasi adanya suatu kemaslahatan yang harus dituju dan ditegakkan. Sebagai satu contoh kasus apabila seorang istri ditinggal suaminya ke medan perang dan tidak kembali selama 10 tahun sehingga dinyatakan hilang, maka karena ini si istri meminta kejelasan statusnya kepada pengadilan. Sebab hal inilah pengadilan berhak memutuskan status si istri tersebut dengan membubarkan perkawinannya demi kemaslahatan dirinya dan keluarganya.

Selanjutnya ada dua akibat yang muncul apabila terjadi perceraian antara suami istri. Pertama adalah akibat bagi istri dan harta kekayaan dan yang kedua adalah akibat bagi anak-anak yang belum dewasa. Perceraian berakibat pada adanya pembagian hak-hak antara bekas suami dan bekas istri menyangkut masalah hak asuh anak maupun pembagian harta. Akibat yuridis yang timbul akibat cerai talak adalah :

1.   Menurut Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena perceraian adalah timbulnya kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dan yang bertanggung jawab sepenuhnya atas pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak adalah bapaknya. Namun apabila bapaknya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan memutuskan bahwa ibunya ikut menanggung biaya tersebut. Jika terjadi perselisihan tentang penguasaan anak, maka pengadilan yang berhak memberi keputusan. Pengadilan juga berhak mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.

2.   Menurut Pasal 149 KHI, apabila perkawinan putus karena cerai talak, maka suami wajib melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya apabila istrinya sudah dicampuri, dan setengah bagi istri yang belum dicampuri. Kemudian bekas suami wajib memberikan mut’ah berupa uang atau benda kepada bekas istri kecuali belum dicampuri. Selain itu ada juga kewajiban memberi nafkah berupa maskan dan kiswah selama bekas istri dalam masa iddah kecuali jatuh talak ba’in atau nusyuz sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya kewajiban memberikan biaya hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.

3.   Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)

Menurut Pasal 156 KHI, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :

a)   Wanita-wanita dalam garis lurus ibu

b)   Ayah

c)   Wanita-wanita dalam garis lurus ayah

d)   Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e)   Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

f)    Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu atau ayahnya. Pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang berhak hadhanah pula apabila keselamatan jasmani dan rohani anak tidak terjamin meskipun nafkah hadhanah sudah terpenuhi. Hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 105 huruf a KHI.

Pertanyaan: Apakah ayah dapat diberikan hak hadhanah untuk mengasuh anak-anak yang masih dibawah 12 tahun?

Terdapat beberapa putusan pengadilan agama yang mengutip Yurisprudensi MARI Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 07 Desember 2007 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “… prinsip yang harus dikedepankan dalam masalah hak hadhanah anak bukanlah “semata-mata siapa yang paling berhak” akan tetapi adalah “semata-mata untuk kepentingan anak”, yaitu fakta siapa yang lebih mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak.”.

Perhatikan pula ketentuan Pasal 2 huruf (b) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 tahun 2014 yang menyatakan bahwa perlindungan anak harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Perlindungan dimaksud menurut penulis adalah termasuk termasuk pemeliharaan/hadhanah anak.

Terdapat putusan Pengadilan Agama Pandan No. 0044/Pdt.G/2016/Pa.Pdn tanggal 6 April 2016 yang memberikan hak hadhanah kepada suami dengan mendasarkan pada pendapat pakar hukum Islam dalam Kitab Kifayatul Akhyar Juz II halaman 94 yang menyatakan bahwa:

“Syarat-syarat hadhanah itu ada tujuh, berakal, merdeka, beragama Islam, menjaga kehormatan, amanah (dapat dipercaya), tinggal di tempat yang dipilih dan belum menikah dengan laki-laki lain. Jika tidak terpenuhi salah satu diantara syarat-syarat tersebut gugurlah hak si ibu untuk memelihara anaknya”.

Walaupun putusan tersebut di atas dijatuhkan dengan verstek atau tanpa kehadiran Termohon (pihak istri), namun demikian pertimbangan hukum dalam putusan tersebut dapat dijadikan referensi hak asuh/hadhanah yang diberikan kepada ayah/suami.

Kesimpulan:

Sesuai ketentuan KHI, terdapat 5 (lima) jenis talak dengan prasyaratnya dan akibat hukumnya masing-masing, yaitu, (i) Talak Raj’i (Pasal 118 KHI), (ii) Talak Ba’in Sughra (Pasal 119 KHI), (iii) Talak Ba’in Kubra (Pasal 120 KHI), (v) Talak Sunni (Pasal 121 KHI), dan (vi) Talak Bid’i (Pasal 122 KHI).

Pada prinsipnya, hak hadhanah anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi perceraian adalah menjadi hak ibunya (Pasal 105 huruf a KHI). Hak hadhanah dapat diberikan kepada suami/ayah si anak dalam hal dapat dibuktikan bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan terbaik si anak dan terdapat kondisi ibu yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diuraikan di atas.

*Junior Associate

Famous And Well-Known Trade Marks Versus Domain Names In Cyberspace

Kenny Wiston

Introduction

Recently, there has been a massive growth in the registration of domain names, many of which consist of trademarks of the registrant. Because of their accessibility, domain names are the preferred way to specify an address to a computer. While designed to serve the function of enabling users to locate computer addresses in an easy manner, domain names have acquired a further significance as business identifiers and, as such, have come into conflict with the system of business identifiers i.e. trademarks that existed before the arrival of the Internet and that are protected by intellectual property rights.

The tension between domain names, on the one hand, and intellectual property rights particularly trademarks, on the other hand, have led to numerous problems that raise challenging policy questions. These policy questions have new dimensions that are a consequence of the intersection of a global, multipurpose medium, i.e. the Internet, with systems designed for the physical, territorial world. With domain name registration tending to operate on a first come first served basis, the potential for disputes over rights to a domain name, particularly those that constitute trademarks, has also inevitably increased.

The tension that exists between the nature of the two systems has been exacerbated by a number of predatory and parasitical practices that have been adopted by some to exploit the lack of connection between the purposes for which the Domain Name System (DNS) was designed and those for which intellectual protection exists. These practices include the deliberate, bad faith registration as domain names of well-known and other trademarks in the hope of being able to sell the domain names to the owners of those marks, or simply to take unfair advantage of the reputation attached to those marks.

Disputes, however, arise over registration of conflicting domain names innocently as well as fraudulently .

Definition and Terminology of Well-Known Mark

The concept of a well-known mark was, in fact, developed in the context of Article 6bis of the Paris Convention to provide owners of marks, which were widely known in the marketplace but not registered, with a measure of protection against later registrations of the same mark by others.

It should, nonetheless, be recognised that well-known status cannot be pinpointed with precision by a bright-line definition. Courts and commentators use a variety of terms to refer to well-known marks or various categories of them, including notorious, famous, highly renowned, highly reputed and exceptionally well-known. These terms indeed have such a large degree of overlap which may lead to a fair amount of confusion. The better view seems to be one that focuses on the universal term provided in Article 6bis of the Paris Convention of a well-known mark: marque notoriement connue, notorisch bekannte marke, marchio notoriamente conosciuto or marca notoriamente conocida. The ordinary dictionary meaning of well-known according to Merriam Webster and the Oxford English Dictionary is, among others, widely known and known to many. According to the International Association for the Protection of Industrial Property (AIPPI), a well-known mark is a mark which is known to a large part of the public, being associated with the article or the service in the mind of the public, as indicating their origin.

Nevertheless, an interesting development is Article 16(3) of the TRIPs Agreement which provides that Article 6bis of the Paris Convention shall apply mutatis mutandis to goods or services which are not similar to those in respect of which a trademark is registered, provided that use of that trade mark in relation to those goods or services would indicate a connection between those goods or services and the owner of the registered trade mark and provided that the interests of the owner are likely to be damaged by such use.

When Is A Mark Well-Known?

In trying to establish internationally recognised criteria to determine whether a mark is well-known or not, Frederick Mostert summarised a common set of factors that has evolved from an analysis and comparison of guidelines from many different countries. In brief these are as follows:

(i) The degree of recognition of the mark
This can be established directly, by unsolicited requests from third parties such as potential licencees, manufacturers and other users or consumers of the goods or services which bear the mark. Alternatively it can be proven by survey evidence. This degree of recognition is the very essence of establishing a famous or well-known status and can be done is various ways. The following additional factors are a non-exhaustive set of guidelines which has emerged to assist with assessing the degree of recognition acquired by the mark in question.

(ii) The extent to which the mark is used and the duration of the use
As well as volume of sales, and depth of market penetration, the market share of the goods or services for which the mark is used will also be useful.

(iii) The extent and duration of advertising and publicity accorded to the mark
The effectiveness of the advertising is very important in producing a well-known mark. It can happen overnight, or over a long period, and can spill over into other territories, jurisdictions, and fields of goods or services.

(iv) Factors which may determine the mark’s geographical reach locally, regionally and worldwide
Included in these are the extent to which the mark is recognised, used, advertised, registered and enforced geographically. Other significant factors could be the use in another country sharing the same language or media, along with the owner’s effort to register and enforce the mark worldwide.

(v) The degree of inherent or acquired distinctiveness of the mark
The demonstration of distinctiveness can assist in supporting a broader scope of protection for the mark on non-competing goods. Insofar as the distinctiveness of the mark is dependent upon its exclusivity, such determination coincides with the next factor to be considered.

(vi) The degree of exclusivity of the mark and the nature and extent of use of the same or a similar mark by third parties
The multiple use by several parties of the same mark is likely to indicate that wide reputation or fame does not attach to any one of them, except perhaps in a narrow field of use within a specific market. This is significant in a dilution case where the less exclusive a mark, the more unlikely the chances it will become even more diluted by a third party use on non-competing goods.

(vii) The nature of the goods or services and the channels of trade for the goods or services which bear the mark
The channel of trade which help to broaden or narrow the exposure of the consuming public to the mark, could have an effect on the protection afforded on non-competing goods or services.

(viii) The degree to which the reputation of the mark symbolises quality goods
This is relevant in dilution cases where tarnishing is involved.

(ix) The extent of the commercial value attributed to the mark
In some cases, the asset value given to the mark by financial institutions could be reflective of its reputation and fame. Whether a mark is well-known or not should be assessed case by case. It is the overall picture which emerges from the application of all these criteria which will determine whether a mark is considered famous in the marketplace.

The Distinction Between Famous and Well-Known Marks
 
It has often been suggested that a special category of well-known marks, i.e. famous marks be recognised.  Famous marks are traditionally considered to have a higher degree of reputation than well-known marks and therefore deserve a broader scope of protection against unauthorised use on non-competing goods or services.
 
Andre R. Bertrand  refers to the following distinction between well-known and famous marks:
(1) the well-known brand proper, which is a trade mark recognised by a large fraction of the circles concerned with the production, sale or use of the goods in question and which is clearly perceived as indicating a particular origin of these products; and
(2) the famous (renommé) or very famous (dehaute renommé) brand which would be a trademark known internationally or worldwide.
 
It should be noted that a highly precise, strict differentiation between famous and well-known marks is not possible as these concepts are relative. In fact, the terms famous and well-known are often used synonymously or conjunctively due to  their similar underpinning.
 
Currently though, famous marks are recognised and protected in many countries only in accordance with the principles of unfair competition law or civil and tort liability law. In sum, a famous mark can be characterised as a mark that is known to a large section of the general public with a broad reputation that extends to various goods or services.
 
The Domain Name System
 
This is the system which allows users to navigate the Internet, with the aid of the domain name and its corresponding Internet Protocol (IP) number. A domain name is the human-friendly address of a computer that is usually in a form that is easy to remember or to identify, such as www.sheffield.edu. An IP number is the unique underlying numeric address, such as 192.91.247.53. Distributed databases contain the lists of domain names and their corresponding IP numeric addresses and perform the function of mapping the domain names to their IP numeric addresses for the purpose of directing requests to connect computers on the Internet. The DNS is structured in a hierarchical manner which allows for name-to-address mapping without a central administration. This has meant that new computers can be added to the Internet with no worries about their accurate name resolution. The current weekly volume of new registrations is about 880,000.
 
At the top of this hierarchical structure are the top-level domains, which are usually divided into two categories: the generic top-level domains (gTLDs) and the country code top-level domains (ccTLDs). Both these categories contain some names which are open to any user and some which are restricted. For example in the gTLDs, the open names are .com, .net and .org. The other four gTLDs are restricted, in the sense that only certain entities meeting certain criteria may register names in them. They are .int, which is restricted to use by international organisations; .edu, which is restricted to use by four-year, degree-granting colleges and universities; .gov, which is restricted to use by agencies of the federal government of the United States of America; and .mil, which is restricted to use by the military of the United States of America. However, these categories may vary from one registration authority to another.
       
The ccTLDs bear a two-letter country code derived from Standard 3166 of the International Organisation for Standardisation (IS0 3166). Currently there are 243. For example .au (Australia), .br (Brazil), .ca (Canada), .eg (Egypt), .fr (France), .jp (Japan) and .za (South Africa). Some of these domains are open, in the sense that there are no restrictions on the persons or entities who may register in them. Others are restricted, in that only persons or entities satisfying certain criteria (for example, domicile within the territory) may register names in them.
 
Nevertheless, functionally there is no distinction between the gTLDs and the ccTLDs. A domain name registered in a ccTLD provides exactly the same connectivity as a domain name registered in a gTLD.
 
The Interface Between the Domain Name System and  Trade Marks
 
It could be said that the most effective, or easily located domain names are those that contain the name of a trademark or other particular feature of a company. This makes them easily identified with a product or a company. So, it is a good starting point, when searching for a company, to use such names, for example pitman.co.uk  or prince.com . Therefore, domain names are much like trademarks in that they may create an expectation about the identity of a person or company , or indeed the nature of the product. With this in mind, we can see how easily the potential for “grabbing” or registering the mark of another person as a domain name has increased.
 
This grabbing potential is intensified where a company has registered its own domain name with a hyphen, as in burger-king.co.uk, but the standard convention for a domain name for a company name of more than a single word is to have no hyphens. This means that the most obvious first choice for an individual speculatively looking for a company’s website would be to use no hyphen. Thus, in One in a Million case  the defendants had tried to sell the domain name burgerking.co.uk for a sum of £125.000 + VAT. Burger King was understandably very eager to have this domain name under its control.
 
Domain names and trademarks have their similarities and differences, [for example “marksandspencer”, as part of a domain name is not identical but is clearly similar to the trademark “Marks & Spencer”]   but, because domain names are world-wide, trademark law alone cannot cover the scope of all domain names. While trademark law allows the same trademark to be used by different companies in different fields and geographic areas, a domain name can only be registered once so some problems obviously arise, if someone somewhere else has already registered a company’s own mark as a domain name on the Internet.
 
However, it should be noted that mere registration of a deceptive company name or a deceptive Internet domain name without using it is not passing off, and therefore by itself is not trademark infringement. Generally speaking, in the US at least, one does not violate a trademark right without commercial use (and, absent a finding that the mark is famous, likelihood of confusion). On the other hand, two courts, one in the US and one in the UK, have held otherwise. They found that a person who made a practice of registering others’ trademarks for potential resale was making commercial use of those trademarks. Assuming that these decisions are correct, which is itself controversial, I do not believe that the precedents would or should apply to persons who are not in the business of registering domains that contain trademarked terms for resale on a similar scale. But, as addressed in One in a Million,  it is enough that the registration is calculated to infringe the Plaintiff’s rights in the future. The name “marksandspencer” could only have been chosen because it was associated with the well-known retailing group and in order for the defendants to pass themselves off as part of that group or their products off as theirs. Thus the court granted a quia timet injunction in order to restrain a threatened rather than an actual tort.
 
A similar judgment can be seen in the first Italian decision on domain name hijacking, that of “lauraashley.com” which had been registered by a parma-based company, using a cover name, Edizioni Blu, whose principal business activity was the registration of well-known domain names. No Internet sites had been activated for any of these domain names. The court held that the defendants’ registration of the said domain name was unlawful and that their offer for sale of the name constituted commercial use and infringement of Laura Ashley’s trading name and registered trademark. Reasons for this included the fact that the name of a well-known company contained within a domain name is a distinguishing mark in that it facilitates  an on-line search and recall of a web site and can therefore conflict with marks which are identical or similar. This falls under Article 1(c) of Italian Trade Mark Law. Another point was that the defendants had registered the mark in order to sell it and therefore take undue advantage from it (Laura Ashley would be forced to buy it if they wanted to set up a web site using their trading name).

Legal Certainty Of Surety Bond In Indonesia

Kenny Wiston

Introduction
A surety bond is a three-party agreement whereby the surety company guarantees the obligee (owner) that the principal (contractor) will perform a contract.

In construction, contract surety bonds are provided to an obligee (typically the construction project owner) by licensed surety companies that commit their assets to support the performance and financial obligations of the principal (typically the contractor or subcontractor). General contractors may also serve as the obligee when bonding subcontractors. Contract surety bonds are a preferred method of guaranteeing the performance or financial obligations of others. Surety bonds used in construction include bid, performance, and payment bonds as well as supply and maintenance bonds. Construction owners, contractors, lenders, public officials, and others involved in the construction project need to know about the companies that issue surety bonds and the role of the surety bond producer.

There are three primary types of contract surety bonds. The bid bond provides financial assurance that the bid has been submitted in good faith and that the contractor intends to enter the contract at the price bid and provide the required performance and payment bonds. The performance bond protects the owner from financial loss should the contractor fail to perform the contract in accordance with its terms and conditions. The payment bond guarantees that the contractor will pay certain workers, subcontractors, and suppliers.

Unlike other types of insurance, which maintain deductibles and charge premiums based on the probability of expected loss, surety companies do not expect a loss. The surety bond premium is a fee for underwriting or prequalifying the contractor.
In Indonesia, hoever, the surety bond is less popular compared to bank letters of credit. Perhaps, obligees especially foreign investors are reluctant to use this insurance product due to uncertainty in the law in the event of defaults.

This article discusses legal aspects of suretyship in Indonesia especially when default does occur because of failure to perform, many times because the contractor is experiencing some type of insolvency which results in failure to pay subcontractors and suppliers and also provides some tips to prospective surety bond holders in Indonesia as to what rules should be included and/or exempted in a bonded contract before agreeing to accept and conclude the bonded contract in order to secure their claims.

Surety Companies: What They Are & How to Find Out About Them
Contract surety bonds are a preferred method of guaranteeing the performance or financial obligations of others. In construction, contract surety bonds are provided to an obligee (typically the construction project owner) by licensed surety companies that commit their assets to support the performance and financial obligations of the principal (typically the contractor or subcontractor). General contractors may also serve as the obligee when bonding subcontractors. Surety bonds used in construction include bid, performance, and payment bonds as well as supply and maintenance bonds. Construction owners, contractors, lenders, public officials, and others involved in the construction project need to know about the companies that issue surety bonds and the role of the surety bond producer.

What is a Surety Company?
Most large property and casualty insurance companies have surety departments. In addition, there are some companies for which surety bonds make up all or most of their business. In either case, in order for a company to write a surety bond in the United States, it must be licensed by the insurance department of one or more states. Although there are some exceptions, generally a surety company must be licensed by the state in which it is doing business or by the state where the obligation guaranteed by the bond is being performed.

It is the surety company’s thorough prequalification process that greatly reduces the likelihood of contractor default. The surety company underwriter takes an in-depth look at the contractor’s entire business operations – credit history and financial strength, experience, equipment, work in progress, and management capability – and must be satisfied that the contractor is capable of completing the project before issuing a bond. Should the contractor experience difficulties on a project, it is possible for the surety company to assist the contractor before a default occurs. Surety companies may offer financial assistance or technical expertise to get a project back on track. The owner may not even be aware of the surety’s involvement.

In the unfortunate event that the owner declares the contractor in default, the surety must investigate the claim, analyze all options, and choose a course of action. If the contractor is in a default situation, the surety may finance the original contractor or provide support to ensure project completion, arrange for a new contractor to complete the project, or pay the cost of completion.

In America, information about surety companies can be obtained from The Surety Association of America (SAA), (202) 463-0600, www.surety.org. SAA is a voluntary, non-profit, association of companies engaged in the business of suretyship. It presently has approximately 650 member companies that collectively underwrite the overwhelming majority of surety and fidelity bonds written in the United States. SAA is licensed as a rating or advisory organization in all states, District of Columbia, and Puerto Rico and has been designated by all state insurance departments except Texas as a statistical agent for the reporting of fidelity and surety experience. SAA represents its member companies before federal, state, and local government agencies.

Other sources of information about surety companies include:
Surety Bond Producers;
State Insurance Departments;
U.S. Department of the Treasury; and
A.M. Best Company

In Indonesia, there are only twenty two licensed companies which may issue surety bonds. This is based on the decision of the Minister of Finance No.761/KMK. 013/1992 and the Circular Letter of the Director of Insurance No. s.2272/DK/2001 dated 16 May 2001. In addition, there are only fifteen licensed insurance companies which may issue custom bonds by virtue of the decision of the Minister of Finance no.108/KMK.01/1995. You can check the listed companies attached to those ministerial decisions should you need to find out the names and details of the companies.

What Is the Role of a Surety Bond Producer?
Most surety bonds are issued through surety bond producers, also known as agents and brokers, who are knowledgeable about the surety and construction industries. Surety bond producers usually work in agencies that specialize in surety bonds or in insurance agencies that have a sub-specialty in surety bonds. In many instances, surety companies rely on surety bond producers to keep them informed of local and regional construction activities and trends. The professional surety bond producer usually maintains a business relationship with several surety companies, which enables the producer to match a contractor with an appropriate surety company.

The surety bond producer may help a contractor obtain surety bonds, and provide business advice, management consulting and technical expertise. The producer is an integral part of the contractor’s external advisory group, which may also include attorneys, bank officers, and auditors. By using his/her specialized knowledge of the construction industry, the producer assists the contractor in preparing for the surety company’s rigorous prequalification process. As a contractor develops a strong business relationship with a surety bond producer, a relationship will also develop between the contractor and surety company. A good surety company and surety bond producer will help a contractor maintain and increase its surety capacity.

Licensed Surety Companies in Indonesia

As stated above, the ground on which surety companies may issue surety bonds in construction works and trade financed by APBN is the decision of the Minister of Finance KMK RI no. 761/KMK.013/1992. In addition, the ground on which surety companies may issue customs bonds is the decision of the Minister of Finance KMK RI No. 108/KMK.01/1995. However, these ministerial decisions do not contemplate and elaborate the principles and procedures of issuing such surety bonds, but as called by the Minister of Finance, the principles per se should refer to the principles of insurance businesses set out by Law No. 22 of 1992.
Things You Should Know About Surety Bonding
An owner wants a contractor who runs a well-managed, profitable enterprise, keeps promises, deals fairly, and performs obligations in a timely manner. Prequalification of the contractor for a surety bond provides these assurances to the owner. The owner also wants protection in the event the contractor, for some reason, defaults on the contract. Surety bonds provide that protection.

1. The surety company’s financial resources are used to back the contractor’s commitment to completing the contract, thus enabling the contractor to acquire a contract with an owner. The owner receives guarantees from a financially responsible surety company licensed to transact suretyship that the contract will be fulfilled. Unlike other types of insurance, which maintain deductibles and charge premiums based on the probability of expected loss, surety companies do not expect a loss. The surety bond premium is a fee for underwriting or prequalifying the contractor.

2. The surety company’s rigorous prequalification of the contractor protects the owner and offers assurance to the lender, architect, and everyone else involved with the project that the contractor is able to translate the project’s plans into a finished project. Surety companies and surety bond producers have been evaluating contractor and subcontractor performance for more than a century. Their expertise, experience, and objectivity in prequalifying contractors is one of a bond’s strongest attributes. Before issuing a bond, the surety company must be fully satisfied, among other criteria, that the contractor has:
good references;
experience matching the requirements of the contract;
the ability to obtain the necessary equipment to do the work;
the financial strength to support the desired work program;
an excellent credit history; and
an established bank relationship and line of credit.

3. Construction is a very risky business. According to Dun & Bradstreet’s Business Failure Record, an average of 10,000 contractors fail each year, leaving a trail of unfinished private and public construction projects. Surety bonds offer assurance that the contractor is capable of completing the contract on time, within budget, and according to specifications. Specifying bonds not only reduces the likelihood of default, but with a surety bond, the owner has the peace of mind that a sufficient risk transfer mechanism is in place. The risks of construction are shifted from the owner to the surety company. If the owner declares the contractor in default, the surety then investigates.

4. Contractor default is an unfortunate, and sometimes unavoidable, circumstance. In the event of contractor failure, the owner must formally declare the contractor in default. The surety will conduct an impartial investigation before taking any action to avoid taking away the contractor’s legal recourse in the event that the owner improperly declares the contractor in default. When there is a proper default, the surety’s options often are spelled out in the bond. These options may include the right to re-bid the job for completion, bring in a replacement contractor, provide financial and/or technical assistance to the existing contractor, or pay the penal sum of the bond.

5. The cost of a performance bond is a one-time premium, which typically ranges from 0.5-2% of the contract amount, depending on the size and type of the project and the contractor’s bonding capacity. There is often no charge for the bid bond, and the payment bond may be issued at no additional charge when issued in conjunction with a performance bond.

6. To bond a project, the owner specifies the bonding requirements in the contract documents. Obtaining bonds and delivering them to the owner is the responsibility of the contractor who will consult with a surety bond producer.

7. Contract surety bonds:
assure project completion;
assure a qualified contractor on the project;
guarantee that the laborers, suppliers, and subcontractors will be paid;
relieve the private owner from the risk of financial loss arising from liens filed by unpaid laborers, suppliers, and subcontractors;
smooth the transition from construction to permanent financing by eliminating liens on private projects ;
help the contractor grow by increasing construction project opportunities and offering assistance and advice;
provide intermediaries – the surety company and surety bond producer – to whom the owner can air complaints and grievances;
lower the cost of construction in some cases by facilitating the use of competitive bids; and
Screen out unqualified contractors and irresponsible competition.

Surety bonds are an integral part of the construction process and should be considered by every owner undertaking such a risky venture.

Surety Bonds v Bank Letters of Credit
Although surety bonding is a part of the insurance industry, it shares some characteristics of bank credit. The surety company’s primary obligation is not to lend the contractor money. Rather, the surety company’s financial resources are used to back the contractor’s commitment to completing the contract, thus enabling the contractor to acquire a contract with an owner.

Tata Cara Pengajukan Gugatan Perceraian oleh Istri di Pengadilan Agama

Bila Anda (pihak Istri) merasa bahwa perkawinan Anda tidak dapat dipertahankan lagi dan memutuskan untuk bercerai, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengajukan Gugatan Perceraian. Bagi yang beragama Islam, gugatan ini dapat diajukan di Pengadilan Agama (Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).

1. Dimana Gugatan Diajukan?
Bila anda yang mengajukan gugatan perceraian, berarti anda adalah pihak Penggugat dan suami adalah Tergugat. Untuk mengajukan gugatan perceraian, anda atau kuasa hukum anda (bila anda menggunakan kuasa hukum) mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggal anda. Bila anda tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila anda dan suami anda tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama)

2. Alasan dalam Gugatan Perceraian
Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain:
a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
c. Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
d. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
e. Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
f. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga.

(Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975)

3. Saksi dan Bukti
Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari alasan-alasan tersebut dengan:
a. Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5 (lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal 135).
b. Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak mampu memenuhi kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989)
c. Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami anda (pasal 76 UU 7/1989 jo pasal 134 KHI).

4. Surat-surat yang Harus Anda siapkan
• Surat Nikah asli
• Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisir
• Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir
• Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
• Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat tanah (bila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor, kwitansi, surat jual-beli, dll.
Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki dalam tempat yang aman.

5. Isi Surat Gugatan
a. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio, terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan
b. Posita (dasar atau alasan gugat), disebut juga Fundamentum Petendi, berisi keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda dengan suami anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Contoh posita misalnya:
• Bahwa pada tanggal…telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat di…
• Bahwa dari perkawinan itu telah lahir …(jumlah) anak bernama…, lahir di…pada tanggal…
• Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat sering sering terjadi perselisihan dan pertengkaran sebagai berikut…
• Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan perceraian…dst
c. Petitum (tuntutan hukum), yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai Penggugat agar dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130 HIR).
Bentuk tuntutan itu misalnya:
a. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
b. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat …sah putus karena perceraian sejak dijatuhkannya putusan oleh hakim;
c. Menyatakan pihak penggugat berhak atas hak pemeliharaan anak dan berhak atas nafkah dari tergugat terhitung sejak tanggal…sebesar Rp….per bulan sampai penggugat menikah lagi;
d. Mewajibkan pihak tergugat membayar biaya pemeliharaan (jika anak belum dewasa) terhitung sejak….sebesar Rp….per bulan sampai anak mandiri/dewasa;
e. Menyatakan bahwa harta berupa….yang merupakan harta bersama (gono-gini) menjadi hak penggugat…
f. Menghukum penggugat membayar biaya perkara…dst

6. Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89)
Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
b. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah.
c. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami;
d. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
e. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.
Agar Gugatan Memenuhi Syarat Formal Dan Agar Diterima Pengadilan, Konsultasikan Dengan Seorang Pengacara Atau Hubungi Kami