Sandra Marisha
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit perbuatan atau interaksi antara seseorang dengan orang lain, bersinggungan dengan ranah hukum dalam artian terjadinya ketidaksesuaian maksud dengan tujuan. Atau bahkan seseorang telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, sehingga mengharuskan dia berhubungan dengan pihak berwajib dan menyelesaikan akibat perbuatannya tersebut di depan hakim.
Dalam hukum perdata, permasalahan dalam ranah hukum dapat terjadi karena adanya perbuataan seseorang yang merugikan orang lain secara nyata yang diatur dalam undang-undang yang disebut juga pembuatan melawan hukum, atau adanya kelalaian kealpaan dan ingkar janji dalam suatu perjanjian atau perikatan yang disebut wanprestasi. Kedua keadaan dan situasi tersebut, mengharuskan seseorang yang telah merugikan atau melalaikan kewajibannya, untuk menggantikan kembali seperti keadaan semula, atau setidaknya menuntut terhadap apa yang telah dilanggar.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Onrechtmatige Daad)
Perbuatan melawan hukum atau PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut ”.
Perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur dan syarat perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu:
- Harus ada perbuatan
- Perbuatan tersebut harus melawan hukum.
- Bersifat positif seperti : dengan sengaja
- Bersifat negative seperti : lalai.
- Perbuatan tersebut harus menimbulkan kerugian.
- Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesalahan
- Antara perbuatan dengan kerugian harus ada hubungan kausal/sebab-akibat.
Dalam pengaruh ajaran Legisme (tidak ada hukum selain dimuat dalam undang-undang), perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal (kewajiban menurut undang-undang). Di Belanda, Negara asal usul KUHPerdata, aliran Legisme mendapat tantangan yang keras. Yang pada akhirnya pengertian perbuatan melanggar hukum diberikan penafsiran yang lebih luas ;
- Tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja.
- Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
- Perbuatan hukum yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat hukum
- Perbuatan hukum yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam masyarakat baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Adakalanya terdapat hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukum (alasan pembenar). Rosa Agustina menyatakan ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim sebagai alasan pembenar yaitu :
- Keadaan memaksa (overmacht);
Pengertian dari overmacht ialah salah satu paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus dielakkan. Overmacht adakalanya merupakan alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan adakalanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond), hal ini karena keadaan overmacht mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus menimbulkan akibat yang sama. Overmacht memiliki bentuk tertentu, yaitu noodtoestand yang timbul disebabkan oleh konflik kewajiban-kewajiban. Terdapat noodtoestand apabila kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena melawan hukum ditiadakan oleh suatu kewajiban lain atau suatu kepentingan yang lebih tinggi tingkatnya. Overmacht dapat bersifat mutlak (absolut) atau relatif. Disebut mutlak apabila setiap orang dalam keadaan terpaksa harus melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melawan hukum, sedangkan disebut relatif apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum oleh karena suatu keadaan, di mana ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut daripada mengorbankan kepentingan sendiri dengan risiko yang sangat besar.
- Pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer);
Di dalam pembelaan terpaksa, seseorang melakukan perbuatan yang terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau barang terhadap serangan yang tiba-tiba yang bersifat melawan hukum. Setiap orang yang diserang orang lain berhak untuk membela diri. Jika dalam pembelaan tersebut, ia terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut menjadi hilang. Untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan bela diri, harus ada serangan yang ditujukan kepadanya dan pembelaan diri tidak boleh melampaui batas. Oleh karena diserang dengan golok, untuk membela diri maka orang tersebut menggunakan tongkat dan dipakai memukul tangan si penyerang, sehingga tangannya patah. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak merupakan perbuatan melawan hukum.
- Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang;
Perbuatan tidak merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu dilakukan karena melaksanakan undang-undang. Polisi yang menahan seseorang dan merampas kemerdekaannya; hakim yang menghukum terdakwa; panitera yang melakukan sitaan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang adalah melawan hukum apabila wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal detournement de pouvoir.
- Melaksanakan Perintah Atasan Perbuatan orang yang melakukan perintah atasan yang berwenang, bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Perintah atasan hanya berlaku sebagai alasan pembenar bagi orang yang melaksanakan perintah tersebut. Tidak menutup kemungkinan, bahwa pemerintah atau penguasa yang memberi perintah tersebut bertindak melawan hukum. Di dalam praktek, alasan pembenar ini tidak begitu penting karena biasanya penguasa yang digugat dan bukan pegawai yang melakukan perbuatan tersebut.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hal-hal yang menghilangkan sifat melanggar hukum ditinjau dari “perbuatannya” dengan tidak memandang tubuh dan kedudukan dari subyek perbuatan melawan hukum, yaitu :
- Hak pribadi;
- Pembelaan diri (noodweer);
- Keadaan memaksa (overmacht).
Sedangkan hal-hal mengenai subyek perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan subyek tersebut meskipun telah melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan, ialah :
- Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel);
- Hak menghakimi sendiri (eigen richting).
WANPRESTASI
Perkataan Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang diartikan sebagai suatu prestasi yang buruk. Dalam buku Hukum Perjanjian oleh Prof. Subekti, S.H., apabila si berutang atau debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan bahwa ia telah melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Menurut Handri Raharjo, S.H., dalam buku beliau tentang Hukum Perjanjian di Indonesia, wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan seseorang/debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Macam-macam bentuk dari wanprestasi adalah:
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
- Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat dari wanprestasi itu, biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan resiko maupun membayar perkara jika sampai diperkarakan di depan hakim. Kapan seseorang dinyatakan lalai ataupun wanprestasi, diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata sebagai berikut:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata, ada dua cara untuk membuktikan telah terjadi wanprestasi, yaitu:
- Wanprestasi yang akan ditentukan demi hukum atau berdasarkan undang-undang
- Wanprestasi yang ditentukan berdasarkan perjanjian atau perikatan itu sendiri
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa wanprestasi adalah keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati.
Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:
- Perikatan tetap ada;
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
- Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
- Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
- Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat) macam, yaitu:
- Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
- Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata);
- Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata);
- Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka Hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR).
KESIMPULAN
Dari sekilas penjelasan dan pengertian tentang Perbuatan Melawan Hukum/PMH dengan Wanprestasi, adalah jika terjadi PMH, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi seperti keadaan semula yang didasari oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku. Sedangkan, jika terjadi wanprestasi, maka pemenuhan dan keadaan prestasi tersebut haruslah disesuaikan dan didasari oleh sebuah perjanjian antara krebitur dengan debitur atau pihak-pihak yang mengikatkan diri dengan perjanjian tersebut.