Kenny Wiston

PENDAHULUAN

Kali ini kita  membahas kerangka hukum dan strategi pengembangan energi panas bumi di Indonesia, mulai dari aspek ketersediaan, penetapan harga, insentif investasi, manfaat bagi negara dan masyarakat, identifikasi konsumen akhir, hingga kiat percepatan pembangunan serta pembenahan perangkat hukum. Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan memberikan rekomendasi normatif dan strategis agar pengelolaan panas bumi dapat berjalan efektif, menarik investasi, serta memberikan manfaat optimal bagi negara dan masyarakat sesuai prinsip kemakmuran rakyat.

PEMBAHASAN

  1. Pengaturan Hukum Panas Bumi: Availability hingga Pricing
  • Pengelolaan panas bumi diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021.
  • Ketersediaan panas bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat (Pasal 4 ayat (1) UU 21/2014).
  • Penguasaan dan pengelolaan dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai kewenangan (Pasal 4 ayat (2) UU 21/2014).
  • Penetapan wilayah kerja dilakukan oleh Menteri melalui lelang terbuka, dengan persyaratan teknis dan keuangan (Pasal 30 UU 21/2014; Penjelasan Umum PP 7/2017).
  • Badan usaha wajib memiliki Izin Panas Bumi (IPB) sebelum pemanfaatan tidak langsung (Pasal 4 PP 25/2021).
  • Eksplorasi diberikan jangka waktu 5 tahun, dapat diperpanjang dua kali masing-masing 1 tahun (Pasal 31 ayat (1) UU 21/2014).
  • Eksploitasi dan pemanfaatan diberikan jangka waktu 30 tahun sejak studi kelayakan disetujui (Pasal 32 ayat (1) UU 21/2014).
  • Kewajiban pemegang IPB meliputi kepatuhan pada keselamatan, lingkungan, penggunaan tenaga kerja Indonesia, dan pelaporan rencana jangka panjang (Pasal 52, 54 UU 21/2014; Pasal 102, 103 PP 7/2017).
  • Sanksi administratif bagi pelanggaran IPB berupa penghentian kegiatan dan denda (Pasal 4, 5 PP 25/2021).
  • Penetapan harga energi panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan keekonomian dan manfaat nasional, serta koordinasi dengan Menteri Keuangan (Pasal 106 PP 7/2017).
  1. Strategi Menarik Investor untuk Industri Panas Bumi
  • Pemerintah memberikan kemudahan fiskal dan nonfiskal, termasuk fasilitas pajak, bea masuk, jaminan kelayakan usaha, dan perlakuan khusus (Pasal 55 UU 21/2014).
  • Insentif fiskal dan nonfiskal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, yang mewajibkan penetapan insentif maksimal satu tahun setelah peraturan berlaku.
  • Pembebasan bea masuk dan/atau pajak untuk impor barang yang belum dapat diproduksi di dalam negeri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 Tahun 2019.
  • Dukungan pemerintah berupa penugasan survei, penanggungan risiko (derisking), dan fasilitas pembiayaan diatur dalam Pasal 27 Perpres 112/2022.
  • Penetapan harga panas bumi mempertimbangkan keekonomian dan daya tarik investasi (Pasal 106 PP 7/2017).
  • Strategi ini bertujuan meningkatkan minat dan kepercayaan investor melalui kepastian hukum, insentif, dan pengurangan risiko investasi.
  1. Manfaat Energi Panas Bumi bagi Negara dan Masyarakat
  • Energi panas bumi adalah kekayaan nasional untuk kemakmuran rakyat (Pasal 4 ayat (1) UU 21/2014).
  • Penyelenggaraan panas bumi menganut asas manfaat, keadilan, ekonomi, keterjangkauan, berkelanjutan, keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan (Pasal 2 UU 21/2014).
  • Tujuan pengusahaan panas bumi: menunjang ketahanan dan kemandirian energi nasional, mendukung pembangunan berkelanjutan, serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat (Pasal 3 UU 21/2014).
  • Pemanfaatan panas bumi menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil (Penjelasan Umum UU 21/2014).
  • Manfaat konkret: peningkatan ketahanan energi, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi daerah, pengurangan emisi, dan perlindungan lingkungan.
  1. Konsumen Akhir Panas Bumi dan Contohnya
  • Konsumen akhir panas bumi adalah pihak yang memanfaatkan energi panas bumi secara langsung (nonlistrik) maupun tidak langsung (listrik) (Pasal 1 angka 10, 11 UU 21/2014).
  • Pemanfaatan tidak langsung: konsumen akhir adalah pengguna listrik, baik untuk kepentingan sendiri (industri besar) maupun umum (masyarakat, rumah tangga, pelaku usaha melalui PLN) (Pasal 9 ayat (4) UU 21/2014).
  • Pemanfaatan langsung: konsumen akhir adalah pelaku usaha atau masyarakat yang menggunakan panas bumi untuk wisata (pemandian air panas), agrobisnis (pengeringan hasil pertanian), industri (green house, pengolahan kayu), dan kegiatan lain tanpa diubah menjadi listrik (Pasal 9 ayat (2) UU 21/2014).
  • Dengan demikian, konsumen akhir meliputi individu, rumah tangga, pelaku usaha, industri, dan masyarakat umum.
  1. Kiat Mendorong Energi Panas Bumi dan Pembangunan PLTP
  • Panas bumi ditetapkan sebagai kekayaan nasional dan prioritas kebijakan energi nasional (Pasal 4 ayat (1), Pasal 10 UU 21/2014).
  • Penetapan wilayah kerja dilakukan secara terencana dan lelang terbuka, mendorong partisipasi pelaku usaha kompeten (Pasal 30 UU 21/2014; Penjelasan Umum PP 7/2017).
  • Insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan perizinan, pembebasan bea masuk, fasilitas pajak, dan jaminan kelayakan usaha diberikan untuk meningkatkan daya tarik investasi (Pasal 55 UU 21/2014).
  • Penetapan harga panas bumi mempertimbangkan keekonomian dan daya tarik investasi (Pasal 106 PP 7/2017).
  • Penugasan BUMN untuk survei, eksplorasi, dan pengusahaan panas bumi guna percepatan proyek dan pengurangan risiko (Penjelasan Umum, Pasal 3 ayat (1) huruf g PP 7/2017).
  • Pengutamaan tenaga kerja Indonesia, barang dan jasa dalam negeri, serta keterlibatan perusahaan penunjang untuk multiplier effect ekonomi (Pasal 102, 103 PP 7/2017).
  1. Perangkat Hukum yang Perlu Dibenahi
  • Harmonisasi definisi dan ruang lingkup pengusahaan panas bumi, khususnya penyesuaian dengan sektor kehutanan dan lingkungan hidup, mengingat perubahan rezim dari pertambangan ke energi terbarukan (Pasal 1 angka 1, Penjelasan Umum UU 21/2014).
  • Kejelasan dan percepatan implementasi insentif fiskal dan nonfiskal, sesuai Pasal 55 UU 21/2014 dan Pasal 25 Perpres 112/2022, mengingat masih terdapat keterlambatan dan ketidakpastian.
  • Mekanisme penetapan harga panas bumi perlu diperkuat agar lebih transparan dan adaptif terhadap dinamika keekonomian proyek (Pasal 106 PP 7/2017).
  • Sinkronisasi perizinan pusat dan daerah untuk pemanfaatan langsung dan tidak langsung, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan (Pasal 7, 8 UU 21/2014).
  • Penguatan regulasi pembinaan, pengawasan, dan pengelolaan data panas bumi agar data dapat diakses dan dimanfaatkan optimal (Pasal 108, 113 PP 7/2017).

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis regulasi, pengembangan panas bumi di Indonesia telah diatur secara komprehensif, namun masih diperlukan pembenahan pada aspek harmonisasi lintas sektor, percepatan insentif, transparansi harga, sinkronisasi perizinan, dan penguatan tata kelola data. Direkomendasikan agar pemerintah mempercepat harmonisasi regulasi, memperjelas dan mengimplementasikan insentif, memperkuat mekanisme penetapan harga, serta meningkatkan koordinasi pusat-daerah dan pengelolaan data, guna menciptakan iklim investasi yang kondusif dan manfaat optimal bagi negara serta masyarakat.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *